Tradisi Pemikiran Islam dan Sikap Terbuka Kepada
Ilmu
Sikap kaum
Muslim terhadap ilmu pengetahuan ialah spontan menghargai, mengadaptasi, dan
memanfaatkan,
hal ini akibat universalisme dan kosmopolitanisme Islam yang benar-benar
dihayati oleh kaum Muslim Klasik (Salaf). Lebih jauh, Sikap serba positif-optimis
kaum Muslim terdahulu itu juga dapat ditelusuri dalam banyak ajaran spesifik
Islam. Misalnya, bahwa orang-orang yang beriman tidak perlu merasa takut atau
khawatir; bahwa mereka yang benar-benar beriman tidak perlu “minder” atau
kurang yakin menghadapi orang lain, karena mereka membawa misi perdamaian
(Silm, salam, Salamah’Selamat”), sehingga mereka sesungguhnya adalah unggul
terhadap golongan lain,dst.
Rasa percaya
diri yang besar kaum Muslim terdahulu
itu memang ditunjang oleh keunggulan politik dan ekonomi, seperti sering
dikemukakan orang, namun terutama karena penghayatan akan ajaran agama mereka
sendiri itu. dalam soal budaya (duniawi), orang-orang Arab dari Jazirah, dari
banyak segi dan ukuran adalah kurang daripada bangsa-bangsa di sekitarnya
seperti Persia dan Byzantium, dua adikuasa “Barat dan Timut” saat itu. tetapi
mereka menghadapi keduanya dengan penuh percaya diri berdasarkan iman. Jadi
benar-benar kaum Muslim itu “tidak takut dan tidak khawatir” kepada mereka,
termasuk dalam bidang pemikiran dan budaya pada
umumnya, sehingga mereka dengan bebas dan tanpa beban psikoloogis apapun
mengambil mana saja yang baik dan membuang mana saja yang buruk dari budaya
asing itu. Karena itu, sebagai contoh, para filsup Muslim tidak segan-segan
mengambil dan menggunakan unsur-unsur budaya Yunani yang “netral” seperti
sebagian besar falsafat dan Ilmu pengetahuan, tetapi mereka menyingkirkan
unsure-unsur yang tidak sejalan dengan pok ok-pokok
ajaran Islam seperi mitologi-mitologi yang kebanyakan menjadi tema sastra
Yunani. Maka sementara kaum Muslim
mengenal hampir semua warisan pemikiran Yunani di Bidang filsafat dan
ilmu pengetahuan merka tidak banyak mengetahui sastra Yunani seperti yang ada
di balik nama-nama Homerus, Sophocles, Euripides, Aesop, Herodotus, dll. Bagi
kaum Muslim, mitologi yang banyak mewarnai tema
sastra mereka itu termasuk jenis kemusyrikan. juga tema panggung mereka
yang berkisasr pada “tragedy” misalnya, dipandang tidak cocok dengan semangat
islam yang optimis dan positif terhadap hidup ini.
Sikap serba
percaya diri kaum Muslim klasik itu berlawanan sekali dengan sikap serba kuatir
dari kaum yahudi Kuno, yang membuat mereka ini enggan, malah menolah, untuk
meminjam budaya asing karena takut dan
khawatir menjadi larut atau mengalami
pengotoraan sehingga mengancam “kemurnian” ajaran mereka yang mereka warisi turun
temurun. Berkenaan dengan filsaft dan ilmu pengetahuan Yunani, misalnya,
sesugguhnya kaum Yahudi telah berkenalan dengan itu sekitar seribu tahun
sebelum Islam (I), yaitu sejak permulaan hellenisasi Timur Tengah oleh ekspansi
militer –politik dan iskandar Agung dari
Macedonia, seorang murid filsuf Yunani Kuno terkemuka, Aristoteles. Namun pada
saat itu kaum Yahudi enggan, segan dan akhirnya menolak untuk meminjam dan
menggunakan apa yang bermanfaat dari budaya Yunani itu, dan harus menunggu seribu tahun sampai tampilnya para ilmuwan
dan filsuf Muslim, karena keterbukaaan islam dan toleransinya yang amat besar.
sampai dengan kesempatan mereka belajar dari orang-orang Islam itu, kaum Yahudi
termasuk golongan paling terbelakang
dalam falsafat dan ilmu pengetahuan. Kata Max I dimont, seorang ahli peradaban
Yahudi :
Ketika Yahudi
menghadapi masyarakat terbuka dunia Islam, mereka adalah bangsa yang telah
berumur 2.500 tahun...Tidak ada yang lebih terasa asing bagi kaum Yahudi
daripada peradaban Islam yang fantastis ini, yang tumbuh dari debu padang pasir
pada abad ke-7. tetapi juga tidak ada yang lebih mirip. meskipun mewakili suatu
peradaban baru, suatu agama baru, dan suatu lingkungan social baru yang
dibangun di atas dasar-dasar ekonomi baru, namun Islam mirip dengan” yang
dikemas dan disajikan kepada kaum Yahudi seribu tahun sebelumnya ketika
Iskandar Agung membuka pintu-pintu masyarakat Hallenis kepada mereka. Sekarang
masyarakat Islam membuka pintu-pintu mesjid-mesjidnya, sekolah-sekolahnya, dan
kamar-kamar tidurnya, (berturut-turut) untuk konversi, pendidikan, dan
asimilasi.
Sudah tentu
kaum Yahudi mencapai zaman keemasan dalam masa kebesaran islam itu tanpa
menjadi Muslim. (Jika mereka telah menjadi Muslim, maka tidak lagi relevan,
bahkan tidak dibenarkan, untuk berbicara tentang mereka sebagai kaum Yahudi ). sebagian
besar kaum Muslim di seluruh dunia sekarang ini adalah keturunan bangsa-bangsa
yang semula memeluk berbagai agama. Dan di Timur Tengah sebagian besar dari
mereka adalah bekas bangsa-bangsa Kristen atau Yahudi). Karena itu yang diambil
oleh orang Yahudi dari kaum Muslim, dalam hal ini Muslim Arab, bukanlah agama
mereka atau kearab-arab an mereka (kecuali bahas dan adat istiadat lahiriah
seperti pakaian, makanan, dll), melainkan bagian dari peradaban Islam aitu yang
“netral” dan dapat disertai oleh kelompok-kelompok lain di luar Islam. Dalam
hal ini yang paling penting ialah ilmu pengetahuan dan filsafat. Dan karena
kedua bidang intelektual itu memang sebagian cukup besar dipinjam dan
dikembangkan Umat islam dari warisan Yunani, maka kebangkitan kaum Yahudi dalam
asuhan Islam itu daoat dikatakan banyak menggunakan unsure budaya atau
pemikiran Yunani yang ‘netral’ itu.
Sekalipun
demikian, tetap menarik untuk ditelaah, mengapa kaum Yahudi, sebagaimana
dikemukakan di atas , harus menunggu satu millennium sampai datangny Islam
untuk bersedia belajar dan memanfaatkan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani? Padahal mereka
dahulu sedemikian takutnya kepada kemungkinan terkena polusi dari bahaya
peradaban asing dari Utara itu? Jawabannya ialah, menurut Max I. dimont, bahwa
“ bahaya ‘ peradaban asing dari Yunani itu telah dijinakan oleh orang Islam,
dan dibuatnya ibaratkan ‘virus yang mati’. virus itu masih mampu berfungsi,
namun sudah tidak mampu lagi memproduksi racun ataupun penyakit. maka kaum
Yahudi belajar dan mengambil filsafat dan ilmu pengetahuan dari Umat Islam itu
ibarat menyuntikan, ke dalam tubuh sistem agama mereka, virus ‘penyakit’ dari
Yunani yang oleh peradaban Islam telah dibuat menjadi virulen. injeksi virus
dengan menggunakan jarum suntik peradaban islam itu menghasilkan dampak
imunisasi tubuh agama yahudi dari bahaya budaya asing. Suatu Metafor yang
sangat mengesankan dari Dimont, yang selengkapnya ia katakana, Sbb:
Kebangkitan
Yahudi di Islam Barat (Spanyol), bagaimanapun, didasarkan kepada pemikiran
Yahudi, bukan Arab. Kebangkitan itu, sebenarnya adalah penyudahan yang sukses
dari suatu perputaran intelektual yang seharusnya sudah berlangsung seribu
tahun sebelumnya dalam masa Hellenistik sejarah Yahudi, namun tidak terjadi.
mengapa orang-orang Yahudi tidak menghasilkan Sastrawan , filsuf dan
ilmuwan dalam masa Hellenistik? mengapa
sejarah yahudi harus menunggu satu milenium sebelum Hellenisme itu dapat berkembang dalam
jiwa orang Yahudi?
Jawabannya
ialah bahwa kaum Yahudi dahulu dalam masa-masa Yunani takut bahwa suatu dosis
budaya Yunani yang orisinil, tak terkotori, dan lebih unggul dapat menyapu
bersih pemikiran Yahudi dalam suatu konfrontasi intelektual yang langsung.
sekarang penyuntikan hama Hellenisme yang telah berumur seribu tahun dan tidur
(dormant) itu melalui jarum peradaban Islam adalah seperti penyuntikan virus
mati yang menjamin adanya kekebalan.
jadi, jelasnya,
kaum Yahudi merasa aman terhadap falsafah dan ilmu pengetahuan setelah
kedua-duanya itu lebih dahulu diislamkan. sedemikian rupa rasa aman kaum Yahudi
itu sehingga mereka tidak pernah merasakan permusuhan samasekali terhadap
budaya ‘asing’ itu. juga tidak lagi curiga kepada kemungkinan bahayanya.
padahal yang mereka pelajari dari umat Islam itu adalah juga ‘Hikmah Yunani’
yang dahulu, para pemimpin agama mereka, memperingatkan jangan sampai
mempelajarinya. kecuali jika “sudah tidak ada lagi siang ataupun malam “
(yakni, Kiamat).
Tetapi
menurut Halkin, dan sama dengan pandangan Austryn Wolfson yang telah disinggung
di muka, Kaum Yahudi mengambil dari umat islam tidak hanya bidang-bidang yang
dianggap” netral” agama saja seperti filsafat dan ilmu pengetahuan, melainkan
juga hal-hal yang bersifat keagamaan, malah keimanan dan akidah. ini dapat
dilihat, meurut Halkin, dari kenyataan bagaimana para sarjana Yahudi, terutama
di Timur, mempelajari ilmu Kalam dan menggunakannya. Ilmu kalam itu
premis-premisnya pada mulanya juga dipinjam dari luar (yakni, dari Yunani,
khususnya berkenaan dengan silogisme atau ilmu mantiq Aristoteles sebagai
dukungan kepada argumen-argumen yang dikembangkannya). Tetapi premis –premis
itu mengalami transformsi menyeluruh begitu rupa sehingga para pemikir Muslim
sesungguhnya telah menciptakan disiplin ilmu yang samasekali baru. Maka
lahirlah ilmu kalam yang bukan sekedat “theology” seperti yang ada dalam
berbagai agama, melainkan sebuah” Ketuhana Dialektis” atau “ketuhanan Falsafi”,
dan bersifat khas Islam. Kini Yahudi menggunakan ilmu kalam itu seperti milik
sendiri, dan mereka mendapatkannya sangat berguna, antara lain dalam rangka
polemic mereka dengan kaum Kristen tentang monotheisme melawan trinitaranisme.
telah pula disebutkan bagaimana para filsuf Yahudi tidak hanya menggunakan kosa
kata ilmu kalam dalam pembahasan-pembahasan keagamaan mereka, bahakan juga
menjadikan al-Qur’an sebagai sumber pembuktian.
Tantangan Pemikiran: Tantangan dan Harapan
Pengertian
“inovasi” yang kiranya harus difahami sebagai pembaharuan, yang
kata-kata padanannya dalam Bahasa arab adalah “tajdid, bukan bid’ah, ibda,
ataupun ibtida”. sebab meskipun kata-kata ini juga mengandung makna kebaharuan,
pembaharuan ataupun pembuatan hal baru (dan dalam Bahasa inggris acapkali
diterjemahkan sebagai ‘Inovation”),
namun konotasinya negative, karena secara semantic, mengandung arti pembuatan
hal baru dalam agama an sich. secara kebahasaan sebetulnya kata-kata bid’ah dan
tasrifnya itu mempunyai arti kreatifitas atau daya cipta. Maka
Tuhan pun disebutkan dalan al-Qur’an sebagai al-badi’, Maha Kreatif atau Maha
Berday cipta.
dan jika Nabi SAW bersabda agar kita berbudi enggan mencontoh budi Tuhan (hadits
temasyur: “ Takhallaqu bi Akhlaq Allah), maka kreatifitas atau daya cipta adalah
hal yang sangat terpuji. namun, sudah dikatakan, tentu saja yang terpuji itu
bukanlah kreatifitas atau dayacipta dalam hal agama itu sendiri, seperti
misalnya, kretifitas atau daya cipta dalam masalah ibadah murni (al-Ibadah
al-Mahdah). maka sama sekali tidak dapat dibenarkan, misalnya menambah jumlah
rakaat dalam shalat atau atau memandang dan memasukan sesuatu yang sebenarnya
hanya budaya belaka menjadi bagian dari agama murni. Dalam hal ini
berlaku peringatan dalam kitab suci”ketahui lah hanya bagi Allah agama
yang murni”, dan firman penegasan,”Mereka tidaklah diperintah melainkan untuk
beribadat kepad Allah dengan memurnikan agama bagi-Nya saja, dan dengan
semangat mencari kebenaran...” Agama adalah milik Allah semata. hanya Dial ah
yang berwenang, yang kemudian disampaikan kepada kita melalui rasulNya sebagai
pemilik ajaran (Shahib al-Syari’ah). maka kretifitas atau dayacipta dalam hal
keagamaan murni (artinya, bukan dalam hal budaya keagamaan) adalah sama dengan
tindakan mengambil wewenang Allah dan rasulNya. suatu perbuatan yang
sesungguhnya tidak mungkin, sehingga yang memaksa melakukannya juga, menurut
sabda Nabi Saw adalah sesat. Sejalan dengan itu, dalam ilmu pokok-pokok agama(ushul fiqh)
ada kaidah yang berbunyi,”Pada dasarnya ibadat adalah terlarang , kecuali jika
ada petunjuk sebaliknya”,(al-Asl fil Ibadah Al-Tahrim, illa Idza ma Dalla
dallil ‘ala khilafihi). artinya, kita dilarang membuat dan menciptakan cara ibadah
sendiri. Kita harus hanya melihat dan mempelajari, apakah ada bukti dalam
sumber-sumber agama , yaitu kitab suci dan Sunnah nabi, bahwa suatu bentuk
ibadat memang dibolehkan, dianjurkan, atau malah diwajibkan. Maka masalah
ibadah murni itu harus ditempuh dengan seketat dan sebersih mungkin, dilakukan
hanya menurut kitab dan sunnah (sejauh-jauh pengertian kita melalui usaha
sungguh-sungguh untuk memahaminya, yaitu ijtihad), tidak boleh ditambah atau
dikurangi.
Tapi
sebaliknya, dalam masalah bukan ibadah kita tidak saja dibolehkan, bahkan
dianjurkan, untuk berdaya cipta dan berkreasi sebanyak-banyaknya. karena
itu kaidah yang berlaku adalah “Pada dasarnya dalam hal bukan ibadah adalah
diperbolehkan, kecuali jika ada petunjuk sebaliknya (al-ashl fi ghair ibadah
al ibahah illa idza ma dalla al-dallil ‘ala khilafihi). Yakni perkara diluar
ibadah pada dasarnya diperkenankan (halal) untuk dijalankan, kecuali jika ada
bukti larangan dari sumber
agama (Kitab dan Sunnah). Karena itu kita tidak dibenarkan melarang sesuatu yang
dibenarkan Allah, sebagaimana dengan sendirinya, tidak dibenarkan membolehkan
sesuatu yang dilarang Allah.
Pola
, format dan Agenda
Jika
prinsip-prinsip itu telah kita fahami, kemudian kita mampu memproyeksikannya
kepada yang telah terjadi dalam tradisi pemikiran Islam sebagaimana telah
dijabarkan di atas, maka kiranya menjadi jelas, apa pola, format dan agenda inovasi
Keislaman dalam bidang pemikiran. dan bila kita sudah mengerti bahwa suatu
pemikiran (oleh manusia, dengan sendirinya) adalah bidang budaya, bukan agama
dalam bentuknya yang murni (meskipun pemikiran islam adalah hasil budi daya
manusia Muslim untuk memahami agamanya melalui kegiatan berfikir), maka dengan
sendirinya inovasi dalam bidang pemikiran itu selalu dimungkinkan, bahkan dituntut
dari masa ke masa. Jadi diperlukan pola berfikir yang mengenal dengan jelas apa
yang dilarang dan apa yang diperbolehkan tersebut tadi, dalam suatu format yang
mengenal dengan jelas pula mana yang agama murni dan mana yang budaya. dengan
kata lain, format inovasi itu jadi kurang lebih sebuah penggantian kalimat arti
kaidah-kaidah ushul fiqh tadi: inovasi dalam agama tidak dibenarkan , sedangkan
inovasi dalam budaya dianjurkan. meskipun format serupa itu sesungguhnya sangat
standar dalam Islam, namun, menurut pengamatan dan pengalaman, untuk kebanyakan
orang tidak begitu jelas. Dan ini, seperti sudah disyaratkan di muka, merupakan
tantangan inovasi.
Sebenarnya
negeri kita memberi
kesempatan dan harapan yang sangat baik untuk berlangsungnya inovasi-inovasi.
Kesempatan dan harapan itu antara lain merupakan hikmah dari
kenyataan bahwa pemikiran Islam di Indonesia belum terlalu “ekstablished” atau
mapan. Dari satu segi, tidak adanya warisan pola pemikiran yang mapan itu
memang dapat dipandang sebagai kerugian, karena berarti kemiskinan intelektual.
Tetapi, dari segi lain, dapat merupakan faktor yang mengungtungkan, karena
berarti terbuka lebar kemungkinan mengembangkan fikiran-fikiran baru dan segar.
Sebab, jika kita salah mempresepsi masa lalu, suatu warisan pemikiran yang
mapan dapat mempunyai efek pembelengguan dan pembatasan inovasi dan
kreatifitas, seperti dengan mudah dapat disaksikan wujudnya pada banyak
masyarakat negeri Muslim. tentu amat ideal kalau suatu masyarakat islam
memiliki warisan intelektual yang mapan, lalu mampu mengemabangkannya secara
kreatif seperti dikehendaki oleh kata-kata hikmah pada permulaan makalah ini,
“Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik”.
Kesempatan
dan harapan itu juga disebabkan oleh adanya berbagai gerakan pembaharuan dalam
islam pada awal ini. Sejak Haji miskin pulang dari Mekkah dan mendorong
lahirnya gerakan Padri di Sumatera Barat, kemudian munculnya gerakan-gerakan
reformasi dengan pembentukan lembaga dan organisasi modern (model Barat)seperti
Muhammadiyah,Persis, dan al-irsyad, ide-ide inovasi sudah banyak dikenal di
negeri kita. karena itu agenda inovasi keislaman di negeri kita di segala
bidang, termasuk bidang pemikiran, tidak akan terlalu jauh dari pengulangan
agenda berbagai gerakan reformasi yang
lalu, dengan beberapa penekanan, penegasan dan peningkatan beberapa segi yang
sebelum ini agaknya luput dari penglihatan, atau kurang mendapat perhatian,
dengan tekanan yang lebih kuat akan pentingnya kesadaran mengapresiasi kekayaan
intelektual islam internasional. Garis besar agenda itu adalah:
1. Kembali kepada
kitab suci dan sunnah nabi. ini adalah dalil klasik para pembaharu sejak
masa Ibn Taymiyyah mengumandangkannya dengan lantang tujuh abad yang lalu.
seruan itu mengisyaratkan penegasan bahwa agama yang benar ialah yang hanya
yang ada dalam, atau sesuai dengan, ajaran kitab dan Sunnah. Maka dalil itu
juga membawa akibat program usaha pemberantasan bid’ah, yaitu sesuatu yang
sebenarnya bukan agama tetapi dianggap agama.
2. Hal
itu tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik kalau kita tidak mampu mengenali
dengan jelas mana perkara yang benar-benar agama, dan mana pula yang
sesungguhnya aspek cultural dari agama itu. persoalan mutlak-nisbi pada
pemisahan mana hal yang benar benar dien dan mana yang minadien.
3. Budaya
dunia Islam Klasaik sedemikian kaya rayanya, sehingga akan merupakan sumber pemiskinan intelektual yang
ironis jika sejarahnya yang telah berjalan lebih dari empat belas abad itu
diabaikan dan tidak dijadikan bahan pelajaran.belajar dari sejarah merupakan
perintah langsung dari Allah untuk memperhatikan sunnatullah. termasuk disini
ialah keharusan mempelajari secukupnya warisan kekayaan intelektual islam.
4. Inti
agama Isalam seperti diketahui, ialah Tauhid. dalam agenda inovasi yang
dipertegas, harus lebih ditekankan implikasi tauhid yang amat prinsipil seperti
pembebasan dari mitologi, pemusatan kesucian (tasbih atau taqdis) hanya kepada
Allah (hanya Dia yang bersifat Subbuh, Quddus, maha Suci, Maha Sakral),
kemudian memandang alam raya sebagai objek yang terbuka, merupakan ayat-ayat
Kauniyah yang harus dibaca. beberapa objek yang semula mengandung makna
mitologis mungkin masih bertahan dalam kehidupan kita sehari-hari, namun
seorang Muslim harus mampu mendemotologisasi, mendesakralisasi dan
mendevaluasinya. (contoh ialah lambing garuda bagi Negara dan ganesha bagi ITB,
yang bekas mitologi Hindu, yang telah didevaluasi dan menjadi hanya bernilai
dekoratif-ornamental belaka dll)
5. Bergandengan
dengan itu ialah kesadaran bahwa Allah adalah maha Mutlak, maka tidak mungkin
hakikat-Nya difahami oleh manusia yang nisbi ini. penegasan dalam kitab suci
bahwa Allah itu tidak sebanding atau analog dengan apapun adalah sentral sekali
dalam sistem faham Ketuhanan islam.karena itu harus disadari implikasinya yang
jauh dan mendalam, yaitu bahwa manusia tidak boleh memutlakan sesuatu kecuali
Allah. memutlakan sesuatu kecuali Allah adalah sama dengan mengangkat sesuatu
itu setaraf dengan Allah, jadi jelas suatu kemusyrikan.
6. Allah
adalah asal dan tujuan hidup manusia (Inna Lillahi wa inna ilaihiraji’un).
Kerana itu Allah harus menjadi pusat pandangan hidup manusia dan orientasi
kegiatannya. tetapi karena Allah tidak mungkin diketahui, maka orientasi hidup
kepada Nya itu tidak untuk “mengetahui” secara “genostik” akan hakikat Nya,
melainkan demi memperoleh perkenan atau ridha-Nya belaka. Maka persoalannya
ialah bagaimana manusia terus menerus mendekati Allah (taqarrub ilallah) dengan
menempuh jalan )shirath, Sabil, syariah, thariqah, minhaj, mansak- yang kesemuanya
mengandung makna ‘jalan”) menuju kepada-Nya. jadi seorang muslim harus terus
bergerak, dinamis, tidak kenal berhenti.
7. Itulah
maknanya bahwa takwa kepada Allah dan ridha –Nya (juga dinamakan jiwa
Rabbaniyyah, Ribbiyah-semangat ketuhanan) disebut dalam kitab suci sebagai
asas yang benar bagi bangunan kehidupan
manusia, individual maupun social. semua kegiatannya dalam berbudidaya haruslah
berasaskan semangat kesadaran akan kehadiran tuhan dalam hidup dan keinginan
mencapai perkenan-Nya.
8. Sejalan
dengan itu maka ijtihad adalah suatu kemestian. jika ijtihad adalah usaha
secara terus menerus dengan penuh kesungguhan untuk menangkap pesan agama dan
bagaimana mewujudkan pesan itu dalam kaitannya dengan kenyataan ruang dan
waktu, maka meninggalkan ijtihad berarti menganggap persoalan sudah selesai dan
kita semua “sudah sampai“. dengan perkataan lain, itu berarti suatu klaim
kemutlakan untuk apa yang telah dicapai dan ada di tangan, padahal semuanya
hasil usaha menusia sendiri yang nisbi belaka.
9. Bersamaan
dengan itu penting sekali mamahami bahwa ilmu tidak mempunyai batas (limit),
sebab batas ilmu adalah ilmu Allah SWT
yang tidak terjangkau oleh siapapun dari makhluk Nya. Yang ada pada manusia
ialah “perbatasan”(frontier) dari ilmu yang dikembangkan manusia sendiri. oleh
karena itu, sesuai dengan prinsip
ijtihad, manusia harus selalu berusaha untuk menembus perbatasan itu, dengan
temuan-temuan baru dan kreasi-kreasi baru. Manusia harus kreatif dan inovativ
10. Maka
lukisan etos keilmuan yang benar menurut islam (seperti dicerminkan dalam
ungkapan Ibn Khaldun pada ujung sekali kitab Muqaddimah-nya) adalah bagaikan
anak panah yang menembus dinding perbatasan pengetahuan manusia saat itu,
bukannya yang kembali ke belakang karena tidak mampu atau tidak mau menembus dinding
itu (yaitu sikap yang menghasilkan penghayatan kepada ilmu secara dogmatis dan
serba final)
11. Berdasarkan
kesadaran akan kenisbian manusia, maka dengan sendirinya hasil suatu ijtihad
tidak selamanya benar. keterbatasan manusia membuatnya selalu mungkin salah.
tetapi dengan niat yang tulus guna mencapai ridha Allah, suatu kegiatan ijtihad
harus dilakukan tanpa takut salah, sebab takut salah justru adalah kesalahan
yang lebih berbahaya. penting sekali menghayati sabda nabi yang terkenal, bahwa
orang yang berijtihad jika benar akan mendapatkan dua pahala dan jika salah
masih mendapat satu pahala. ini adalah dorongan yang sangat kuat untuk
berkreasi dan berinovasi.
12. Kesadaran
akan kenisbian diri sendiri dan kemungkinan salah itu terkait dengan prinsip
amat penting lain, yaitu keharusan seseorang senantiasa bersedia mendengarkan
pendapat orang lain dengan hati terbuka. apalagi disebutkan dalam kitab suci
bahwa sikap terbuka itu merupakan indikasi adanya hidayah dari Allah. dan karena
keharusan “mendengar’ merupakan suatu sisi yang mensyaratkan adanya sisi yang
lain, yaitu”hak untuk berbicara” , maka gabungan antara keduanya itu melahirkan
prinsip musyawarah dalam semangat memberi dan menerima, salaing berpesan
tentang kebenaran, dan saling berpesan tentang ketabahan menegakan kebenaran
itu.
13. Hal
di atas itu menyangkut prisnsip amat penting lagi, yaitu bahwa dalam pergaulan
sesama manusia, khususnya dari kalangan sesama kaum beriman, harus ditetapkan pandangan
kenisbian kedalam (elektivisme Internal). karena itu harus ada toleransi dan
sikap menahan diri dari merendahkan orang, yaitu sikap yang dalam kitab suci
disebut sebagai tindakan pertama dalam rangka menegakan persaudaraan.