KAJIAN KITAB DI PASCA
SARJANA
IAID CIAMIS
A.
PENDAHULUAN
·
Pesantren
yang lahir di tengah-tengah masyarakat merupakan lembaga tafaqquh fi al-din yang begitu kuat, mengakar dan sekaligus
diterima oleh masyarakat, sehingga warna konvensional sangat pekat tampak dalam
sikap, langkah dan pemikiran pesantren.
·
Pola dasar pendidikan
pesantren terletak pada relevansinya dengan segala aspek kehidupan, yang
merupakan cerminan untuk mencetak para santri menjadi insan yang shâlih
dan akram. Shâlih berarti manusia yang secara potensial mampu
berperan aktif, berguna dan terampil
dalam berinteraksi dengan sesama makhluk hidup; sementara akram
merupakan pencapaian kelebihan dan kemuliaan dalam kaitan manusia sebagai
makhluk yang berhubungan dengan Khaliq-nya
untuk mencapai kebahagiaan akhirat.
·
Pesantren pada dasarnya
memiliki sikap integratif yang partisipatif terhadap pendidikan luar pesantren
selama masih dalam koridor nilai-nilai luhur
dan identitas pesantren, sebagaimana terlihat dalam pembentukan madrasah
sebagai lembaga pendidikan klasikal dan perguruan tinggi yang kian hari semakian
meningkat kualitas manajerial dan proses belajar mengajar di berbagai
pesantren.
·
lembaga pndidikan yang khas
Islam, pesantren tetap harus memberikan dasar-dasar pengembangan karakter,
kepribadian, penciptaan sikap hidup, dan penataan basis kehidupan yang
tercermin dalam akhlak, cara memimpin, cara-cara pergaulan dan dalam proses
pengambilan keputusan.
·
Pesantren sebagai lembaga
pendidikan keagamaan memiliki fungsi
ganda; pertama sebagai pendidikan yang mampu mengembangkan pengetahuan,
penalaran ilmiah, keterampilan dan kepribadian kelompok anak muda; dan kedua
sebagai lemaga sosial yang mampu menggerakan swadaya dan swakarsa
masyarakat serta mampu melakukan perbaikan
lingkungan hidup dari segi rohaniah dan jasmaniah.
·
upaya-upaya pengembangan
metode pengajaran pesantren dapat dilakukan dengan serius, sistematis dan
terarah dalam pencapaian kemajuan yang bertanggungjawab.
·
Untuk itu, penyerapan pesantren terhadap
beberapa aspek metodologis pengajaran Islam dari luar pesantren tidak dapat dihindari. Penyerapan metodologis
tersebut bukan merupakan suatu hal yang tabu bagi lingkungan pesantren,
sepanjang mereka tetap konsisten dalam memahami, dan melaksanakan nilai-nilai
dan identitas pesantren, sehingga tidak hanyut oleh perubahan-perubahan yang
tak terkendali.
B. METODE PENGAJARAN KITAB
·
Mata pelajaran
yang menjadi primadona di sebagian besar pesantren tradisonal adalah
kitab-kitab yang bermuatan hukum Islam (fiqh)
·
Dimensi fikih
yang merupakan derivasi praktikal dari ajaran Alqur’an dan Hadis adalah
landasan normatif dalam berperilaku baik individual maupun masyarakat.
·
Konsep fikih
yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
Indonesia menjadi sumber nilai. Fikih tidak hanya
berlaku sebagai norma yang berwatak legalistik, tapi juga mewarnai sikap dan
perilaku masyarakat;
·
Secara
konvensional, ajaran-ajaran fikih itu
dimodifikasi oleh para ulama sesuai dengan tradisi yang ada pada zamannya.
Karena itu, pesantren sebagai lembaga tafaqquh fi al-dîn, membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu
yang bermuara pada pendalaman masâ’il al-diniyyah;
·
Kendatipun
pesantren mengajarkan pula ilmu-ilmu alat yang berkaitan langsung dengan
kehidupan sehari-hari, namun ilmu-ilmu alat yang dimaksud lebih dibatasi pada
ilmu-ilmu bahasa Arab, baik gramatikal (al-nahw
wa as-sharf), maupun sastranya (al-balâghah).
·
Pengajaran ilmu bahasa ini pun sebenarnya
lebih diarahkan untuk membekali para santri dengan kemampuan yang memadai untuk
dapat memahami karya-karya pemikiran Islam klasik terutama kitab-kitab fikih dalam lingkungan madzhab
Syafi’i, yang terkadang kitab-kitab tersebut kemunculannya pada periode taqlid. Atau zaman kemunduran umat Islam;
·
Dalam hubungan
ini, apabila pada zaman sekarang ini, masih muncul sikap dan penafsiran
Alqur’an dari kalangan umat Islam yang
asing, maka hendaknya layak merenungkan
ucapan sahabat terkemuka, ‘Abd Allah Ibnu Mas’ud
إنك فى زمان كثير فقهاؤه قليل قراؤه. تحفظ فيه
حدود القرآن وتضيع حروفه, قليل من يسأل كثير من يعطى, يطيلون فيه الصلاة ويقصرون
فيه الخطبة, يبدأون أعمالهم قبل أقوالهم .. وسيأتى على الناس زمان قليل فقهاؤه
كثير قراؤه, تحفظ فيه حروف القرآن وتضيع حدوده, كثير من يسأل قليل من يعطى, يطيلون
الخطبة ويقصرون الصلاة, ويبدأون فيه أهواءهم قبل أعمالهم.
·
Asumsi di
kalangan pesantren bahwa pemahaman ajaran Islam telah memadai dan final
dilakukan oleh para ulama terdahulu, pada gilirannya menimbulkan dampak negatif
bagi pengembangan inovasi pemikiran ilmu-ilmu keislaman di kalangan para
santri, padahal pesantren pada zaman sekarang ini dituntut untuk mengadakan
responsi terhadap tantangan-tantangan dan berbagai problem kehidupan sosial.
·
Produk
penafsiran para mufassir terdahulu pada umumnya disampaikan kepada para santri,
hanya terbatas pada beberapa kitab tafsir dan kitab fikih yang telah ditentukan, yang secara
tradisional disebut dengan istilah kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, yakni kitab tafsir yang telah ditulis oleh para ulama
salaf yang namanya telah lama dikenal melalui karya-karyanya yang lain atau
kitab yang pernah dipelajari oleh para kyai dari guru-guru mereka dahulu.
·
Dalam konteks ini dapat dipahami apabila kitab-kitab tafsir yang
diajarkan di pesantren berkisar pada Tafsir
al-Jalâlayn, karya al-Jalâl al-Dîn al-Mahalli dan Jalâl al-Dîn
al-Suyûthi dengan kedua komentarnya yang populer, yakni Hâsyiyah al-Jamal dan Hasyiyah
al-Shâwi serta beberapa kitab tafsir lain, seperti Marâh Labid yang lebih populer dengan nama Tafsir al-Munîr, karya al-Syeikh Muhammad Nawâwi al-Bantani,
Tafsir al-Qur’ân al-‘Adhîm, karya
al-Hâfizh Ibnu Katsîr dan Anwâr al-Tanzîl
wa Asrâr al-Ta’wil, karya al-Qâdhi al-Baydâwi;
·
Kendatipun demikian, tidak semua santri pernah mengkajai secara serius apalagi sampai tamat ketiga kitab yang disebut
terakhir ini. Demikian pula, para santri umumnya jarang sekali membaca dan
memahami tafsir-tafsir modern seperti tafsir al-Manâr, karya Muhammad
Abduh dan Sayyid Rasyid Ridhâ, tafsir al-Marâghi karya Musthafa
al-Marâghi, dan tafsir Fi Dhilâl al-Qur’ân, karya Sayyid Qutb. Hal ini
mungkin muskil atau sulitnya memahami teks-teks tafsir modern, atau adanya
anggapan bahwa tafsir tersebut dapat
merusak tradisi kepercayaan mereka dan meretakan pola hubungan santri dan kyai
yang sudah melekat;
·
Dalam mengajarkan kitab klasik, terdapat dua metode yang sudah populer di
kalangan pesantren. Pertama, metode bandongan di mana kyai berperan aktif
membacakan teks-teks kitab, sedangkan santri mendengarkan dan memberikan catatannya
di bawah kata-kata yang diterjemahkan. Kelompok kelas dari metode bandongan
ini disebut halaqah, artinya lingkaran murid, atau sekelompok santri
yang belajar di bawah bimbingan seorang kyai. Kedua, metode sorogan ,
atau sekarang lebih dikenal dengan tutorial, di mana beberapa santri yang telah
dianggap mampu membacakan teks-teks
kitab, sedangkan kyai mendengarkan, mengoreksi dan memberikan penjelasan
seperlunya. Dalam metode ini, santri yang terlibat aktif dalam membaca,
memahami dan membuat catatan-catatan, sehingga kitab yang belum dibaca tersebut
dipahami terlebih dahulu;
·
Tidak dapat dipungkiri bahwa
dengan cara membaca dan menterjemahkan kitab khas pesantren, yang sangat
menekankan pada kedudukan kata dalam kalimat (I’râb), keterampilan para santri dalam membaca dan memahami teks
kitab secara cermat dapat tercapai, Namun demikian, karena kecilnya
kemungkinan, kesempatan dan keberanian para santri untuk melibatkan diri dalam
diskusi yang hangat dengan para kyainya,
sebagai cerminan sikap tawadu’ santri di hadapan wibawa yang sangat
besar dari seorang kyai, maka pengajaran tafsir di pesantren sulit untuk
dikembangkan dan ditingkatkan metode dan system proses pembelajarannya.
·
Di samping itu, dengan dilatarbelakangi oleh
anggapan telah selesainya upaya penafsiran Alqur’an di tangan para penulis
kitab tafsir Mu’tabar, yang tidak
jarang pula dianggap sebagai penafsiran yang sakral, perhatian terhadap pengajaran ‘Ulûm al-Qur’ân tidak mendapatkan porsi yang layak. Terkadang para
santri tidak mengenal karya-karya ‘Ulûm al-Qur’ân seperti al-Itqân fî ‘Ulûm
al-Qur’ân, karya al-Suyûthi, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân
karya al-Zarqâni dan al-Tibyân fi ‘Ulûm al-Qur’ân karya al-Shabûni; Padahal seperti nampak pada penyebutan ‘Ulûm
al-Qur’ân dengan nama lain yakni ushûl
al-tafsîr, nampak dengan jelas
betapa pentingnya ilmu ini bagi setiap upaya menafsirkan Alqur’an dan menilai
hasil-hasil penafsiran sebagaimana terlihat begitu banyak cabang-cabang ilmu
Alqur’an bermunculan dan beredar di tenga-tengah masyarakat;
·
Kendatipun pesantren mungkin
tidak berambisi untuk mencetak para ahli tafsir, namun paling tidak dengan
pengenalan yang intensif terhadap sekluk–beluk ‘Ulûm al-Qur’ân
dimungkinkan munculnya sikap kritis dalam menghadapi karya-karya ulama tafsir
terdahulu. Sebab betapapun besarnya jasa mereka dalam menuntun kita menuju
pemahaman Alqur’an, namun pemahaman mereka bukanlah pemahaman yang final dan
sakral, yang kebal terhadap kritik seperti dikemukakan oleh Muhammad
Abdullah al-Saman
صحيح انّ هذه التفاسير قد خدمت كثيرا من العلوم الإسلاميّة والعربيّة وفى
مقدمتها التوحيد والفقه والحديث واللغة, وأن الذين تصد والتفسير القرآن كانوا
علماءلهم مكانتهم فى عصورهم .. ولكن هذا لا يمنع أن تفحص آراؤهم فى أى عهد من جديد
ليؤخذمنها ما يؤخذ ويرفض ما يرفض.
·
Dengan bekal pengetahuan
yang memadai tentang cerita Isrâiliyât (riwayat-riwayat yang bersumber
dari kalangan ahi kitab) dan seluk-beluknya sebagai salah satu bagian dari
sejarah tafsir dalam kajian ‘Ulûm al-Qur’ân, para santri tidak dapat
begitu saja menerima penafsiran Jalâl al-Dîn al-Suyûthi terhadap kata ra’d
(guruh) dan barq (kilat) dalam ayat
14 surat al-Baqarah yang mengatakan:
(ورعد) هو الملك الموكل به وقيل صوته (وبرق) لمعان صوته الذى يزجره
به
·
Walaupun penafsiran ini diperkuat pula oleh al-‘Alâmah
al-Shâwi dalam Hasyiyah-nya, namun
kedudukan penafsiran ini sebagai riwayat Israiliyat yang cukup menggelikan para
pakar ilmu pengetahuan, telah mendorong para santri untuk bersikap kritis dalam
menghadapinya. Karena itu, jauh lebih
baik dalam hal ini, apabila para santri menelaah dengan seksama penafsiran Ibnu
Katsir Dalam menafsirkan potongan ayat
di atas, Ibnu Katsir antara lain menyatakan:
(ورعد) وهو ما يزعج
القلوب من الخوف فإن من شأن المنافقين الخوف الشديد والفزع .. (والبرق) هو ما يلمع
فى قلوب هؤلاء الضّرب من المنافقين فى بعض الأحيان من نور الإيمان.
·
Demikian pula dalam
menghadapi kisah yang dengan jelas tidak sesuai dengan martabat kenabian (Maqâm An-Nubuwwah), para santri
diharapkan bersikap kritis. Sebagai contoh ketika menafsirkan ayat 37 surat al-Ahzâb
tentang perceraian Zaenab Binti Jahsyi dan Zayd Ibnu Hâritsah
yang dilanjutakan dengan pernikahan Zaenab dengan Rasulullah SAW,
yang berbunyi:
(وتخفى فى نفسك ما الله مبديه) مظهره من محبتها وأن لوفارقها زيد
تزوجتها.
Dengan menyoroti penafsiran di atas yang menurunkan
kedudukan Nabi, maka merupakan suatu
keuntungan besar bagi sebagian santri yang sempat membaca atau mendengarkan
komentar yang diberikan oleh al-‘Allâmah al-Shâwi yang menganggap penafsiran
tersebut sebagai penafsiran yang tidak
layak bagi martabat kanabian (Ghayr laiq
bi al-mansib an-nubuwwah). Dengan mengemukakan argumentasi-argumentasi yang
canggih al-Shâwi sampai pada kesimpulan berikut ini :
والصواب أن يقول إن الّذى أخفاه فى نفسه هو ما
أخبره الله به من أنّها سيصير احدى زوجاته بعد طلاق زيد لها.
Dengan
memahami pembahasan para ulama tentang Isrâiliyyât dapat diketahui bahwa
riwayat yang antara lain dipegang oleh al-Jalâl al-Dîn al-Mahalli di atas
temasuk dalam kategori Isrâilliyât yang batil. Menurut Muhammad Abû Zahrah
dalam satu artikelnya pada majalah liwa’
al-Islam, riwayat iu adalah bikinan keji dari Yohanna al-Dimasyqi, seorang
tokoh Nasrani yang sangat memusuhi Islam, pada masa-masa pemarintahan Bani
Umayyah.
·
Dengan memahami sejarah
tafsir dan para mufassir secara baik, para santri juga dapat terhindar dari
kesalahpahaman tentang beberapa tokoh
ulama dan karya-karya mereka. Dengan demikian, para santri dapat mengambil sikap
yang proporsional dalam menghadapi tokoh-tokoh yang dimaksud dan
karya-karyanya. Sebagai contoh, nama Taqî al-Dîn Ibn Taymiyah yang sering
ditanggapi dengan sinis dan tidak bersahabat
oleh sebagian besar pesantren, ternyata merupakan guru yang sangat
dikagumi dan dicintai oleh Ibnu Katsîr,
padahal kitab tafsir Ibnu Katsir tersebut begitu akrab dengan dunia
pesantren dan menjadi referensi utama
dan kebanggaan pesantren. Bahkan penafsiran Alqur’an yang dikembangkan oleh Ibn
Katsîr dalam kitabnya didasarkan pada teori penafsiran yang dituangkan oleh
Ibnu Taymiyah dalam kitabnya, Muqaddimah
fi Ushûl al-Tafsîr. Dengan membaca sepintas kupasan Ibnu Katsir pada awal
penafsiran surat
al-Baqarah, dapat ditangkap isyarat-isyarat mengenai penghormatan Ibnu Katsir
yang begitu besar terhadap Ibnu Taymiyah. Ketika terlibat pembicaraan tentang fawâtih
al-suwar, Ibnu Katsîr menyebut nama Ibnu Taymiyah dengan sebutan, al-Syekh
al-Imâm al-‘Allâmah. Isyarat ini akan menjadi jelas , apabila diiringi
dengan telaahan secara mendalam terhadap kitab tarikh Ibnu Katsir, al-Bidâyah
wa al-Nihâyah. Pada jilid ke empat belas,
dari kitab tarikh tersebut,
nampak dengan jelas perhatian Ibnu Katsir terhadap Ibnu Taymiyah yang
menghabiskan kurang lebih 15 judul yang berhubungan dengan seluk beluk
kehidupan dan perjuangan berat Ibnu Taymiyah.
·
Sebaliknya tanpa pengetahuan
yang memadai tentang sejarah tafsir dan mufassir, para santri tidak banyak
mengetahui tentang keberadaan tafsir al-Kasysyaf, karya al-Zamakhsyari
sebagai terompet golongan mu’tazilah yang sangat keras menghantam
teologi Sunni. Demikian pula tidak banyak santri yang tahu bahwa kitab tafsir
Sunni yang sangat terkenal di pesantren, yakni Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, karya al-Qâdhi al-Baydhawi nyaris merupakan
ikhtisar dari tafsir al-Kasysyâf yang tersebut di atas. Bahkan Muhammad
al-Shâwi al-Juwaini menganggap karya al-Baydhawi tersebut sebagai Sayyid al-Mukhtasarât dari tafsîr
al-Kasysyâf.
·
Dengan memahami dan mengikuti sikap mereka
yang sangat simpatik ini, menjadi sangat tidak relevan lagi sikap sebagian
pihak yang membatasi diri secara ketat hanya pada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar saja. Sikap seperti ini sangat
tidak menguntungkan bagi upaya pengembangan wawasan keilmuan yanga menjadi
tuntutan mutlak bagi para peminat ilmu di abad modern sekarang ini.
C.
Pengembangan
Metode Pengajaran Tafsir
di Perguruan
Tinggi
· Lembaga pendidikan Islam seperti pesantren,
PTAI dan pasca sarjana, dengan kemampuan
yang milikinya, sebagai pusat
pengembangan pengajaran ilmu agama Islam terutama kajian tafsir Alqur’an akan
mampu pengembangan oengajaran penafsiran Alqur’an.
· Berbagai Kitab tafsir yang dijadikan sebagai
referensi ilmiah bagi pesantren seharusnya lebih merupakan garis mendatar yang
memberikan konsep-konsep pendekatan terhadap masalah-masalah ritual maupun
sosial. Dalam hal ini, peningkatan dan pengembangan pengajaran dan kajian kitab
tafsir sebagai sumber pendekatan masalah, dapat diupayakan dengan metode munâzharah;
· Metode
manâzharah dapat dimodifikasi sedemikian rupa, agar dapat menyusun
konsep-konsep aktual yang mampu menjadi rujukan yang memadai bagi permasalahan
sosial yang berkembang, sehingga pada gilirannya akan terjadi perubahan wawasan
dari yang bersifat tekstual menjadi bersifat kontekstual.
· Peningkatan
dan pengembangan metode munâzharah semacam ini tentu saja harus
melibatkan berbagai disiplin ilmu dan profesi, di samping pakar tafsir, seperti
filsafat, sosiologi, antropologi, kedokteran, antariksa dan geografi. Ini tidak berarti mengubah atau menghilangkan metode
tradisional di atas, akan tetapi mencoba
mengurangi fenomena dan kecenderungan legalistik yang tumbuh akibat metode itu
sendiri.
· Kajian kitab tafsir dengan metode munazharah ini harus ditingkatkan dan
dikembangkan secara intens sedemikian rupa di kalangan para pengkaji tafsir,
terutama para santri senior. Metode munâzharah yang dapat merangsang
keterlibatan para mahasiswa dan santri secara intelektuan dan emosional ini
dimaksudkan agar dapat menyusun konsep-konsep aktual yang mampu menjadi rujukan
yang memadai bagi permasalahan sosial yang berkembang, sehingga pada gilirannya
akan terjadi perubahan wawasan dari yang bersifat tekstual menjadi bersifat
kontekstual.
· Jika
pengajaran tafsir di lembaga pendidikan seperti pesantren dan perguruan tinggi
Islam tidak diproyeksikan untuk mencarikan alternatif-alternatif baru bagi
penafsiran Alqur’an, paling tidak pengajaran tafsir di pesantren dapat
diarahkan pada pembentukan sikap kritis dan selektif terhadap berbagai alternatif
penafsiran yang telah ada dalam berbagai kitab tafsir yang telah dipublikasikan.
·
Deskripsi di atas sebagai suatu realitas dan
tantangan bagi para pengajar, dan para kyai yang memimpin pesantren, sekaligus
merupakan dorongan kuat terhadap kebutuhan adanya pengembangan pengajaran tafsir
·
Kajian kitab di PPS IAID
mencakup mata kuliah hadis tarbawi, tafsir tarbawi, ilmu hadis dan ilmu
Alqur’an. Mata kuliah tersebut mengharuskan para mahasiswa menelaah beberapa
kitab klasik dan kontemporer, untuk menuangkan dalam bentuk tulisan karya
ilmiah dan menambah wawan keilmuan.
·
Beberapa
kitab klasik yang sering dijadikan rujukan dalam perkuliahan antara lain: Manâhil
al-‘Irfân f ‘Ulûm al-Qur’ân, al-Zarqâni; al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
al-Suyûthi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Tafsîr Mahâsin al-Ta’wîl,
al-Zarkasyi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, al-Dzahabi, Ushûl al-Hadîts,
al-Khathib, al-Jarh wa al-Ta’dîl, al-Râzi, al-Ishâbâh fî
Tamyîz al-Shahâbah, al-‘Asqalâni, Usud al-Ghâbah fî Ma’rifah al-Shahâbah,
al-Jazri, dan lain-lain.
·
Kitab
yang digunakan dalam kajian hadis tarbawi adalah: Usus al-Tarbiyyah
al-Islâmiyyah fî al-Sunnah al-Nabawiyyah, al-Shayd al-Zantani, al-Adab
al-Nabawi, al-Khûli.
D. Penutup
·
Kitab
klasik dan kontempore sangat dibutuhkan untuk menqambah wawasan pengetahuan,
baik pendidikan maupun ilmu-ilmu lain.
·
Untuk
melakukan kajian tersebut diperlukan seperangkat ilmu, antara lain: nahwu,
sharaf dan balaghah;
·
Metode
pengkajian kitab harus diselaraskan dengan perkembangan zaman, sehingga
nilai-nilai keagamaan tidak terlindas oleh perubahan zaman tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar