Pages

Sabtu, 24 November 2012

Tradisi Pemikiran Islam dan Sikap Terbuka Kepada Ilmu

Tradisi Pemikiran Islam dan Sikap Terbuka Kepada Ilmu
Sikap kaum Muslim terhadap ilmu pengetahuan ialah spontan menghargai, mengadaptasi, dan memanfaatkan, hal ini akibat universalisme dan kosmopolitanisme Islam yang benar-benar dihayati oleh kaum Muslim Klasik (Salaf). Lebih jauh, Sikap serba positif-optimis kaum Muslim terdahulu itu juga dapat ditelusuri dalam banyak ajaran spesifik Islam. Misalnya, bahwa orang-orang yang beriman tidak perlu merasa takut atau khawatir; bahwa mereka yang benar-benar beriman tidak perlu “minder” atau kurang yakin menghadapi orang lain, karena mereka membawa misi perdamaian (Silm, salam, Salamah’Selamat”), sehingga mereka sesungguhnya adalah unggul terhadap golongan lain,dst.
Rasa percaya diri yang besar kaum Muslim  terdahulu itu memang ditunjang oleh keunggulan politik dan ekonomi, seperti sering dikemukakan orang, namun terutama karena penghayatan akan ajaran agama mereka sendiri itu. dalam soal budaya (duniawi), orang-orang Arab dari Jazirah, dari banyak segi dan ukuran adalah kurang daripada bangsa-bangsa di sekitarnya seperti Persia dan Byzantium, dua adikuasa “Barat dan Timut” saat itu. tetapi mereka menghadapi keduanya dengan penuh percaya diri berdasarkan iman. Jadi benar-benar kaum Muslim itu “tidak takut dan tidak khawatir” kepada mereka, termasuk dalam bidang pemikiran dan budaya pada  umumnya, sehingga mereka dengan bebas dan tanpa beban psikoloogis apapun mengambil mana saja yang baik dan membuang mana saja yang buruk dari budaya asing itu. Karena itu, sebagai contoh, para filsup Muslim tidak segan-segan mengambil dan menggunakan unsur-unsur budaya Yunani yang “netral” seperti sebagian besar falsafat dan Ilmu pengetahuan, tetapi mereka menyingkirkan unsure-unsur yang tidak sejalan dengan pok       ok-pokok ajaran Islam seperi mitologi-mitologi yang kebanyakan menjadi tema sastra Yunani. Maka sementara kaum Muslim  mengenal hampir semua warisan pemikiran Yunani di Bidang filsafat dan ilmu pengetahuan merka tidak banyak mengetahui sastra Yunani seperti yang ada di balik nama-nama Homerus, Sophocles, Euripides, Aesop, Herodotus, dll. Bagi kaum Muslim, mitologi yang banyak mewarnai tema  sastra mereka itu termasuk jenis kemusyrikan. juga tema panggung mereka yang berkisasr pada “tragedy” misalnya, dipandang tidak cocok dengan semangat islam yang optimis dan positif terhadap hidup ini.
Sikap serba percaya diri kaum Muslim klasik itu berlawanan sekali dengan sikap serba kuatir dari kaum yahudi Kuno, yang membuat mereka ini enggan, malah menolah, untuk meminjam budaya asing karena  takut dan khawatir  menjadi larut atau mengalami pengotoraan sehingga mengancam “kemurnian” ajaran mereka yang mereka warisi turun temurun. Berkenaan dengan filsaft dan ilmu pengetahuan Yunani, misalnya, sesugguhnya kaum Yahudi telah berkenalan dengan itu sekitar seribu tahun sebelum Islam (I), yaitu sejak permulaan hellenisasi Timur Tengah oleh ekspansi militer –politik  dan iskandar Agung dari Macedonia, seorang murid filsuf Yunani Kuno terkemuka, Aristoteles. Namun pada saat itu kaum Yahudi enggan, segan dan akhirnya menolak untuk meminjam dan menggunakan apa yang bermanfaat dari budaya Yunani itu, dan harus menunggu  seribu tahun sampai tampilnya para ilmuwan dan filsuf Muslim, karena keterbukaaan islam dan toleransinya yang amat besar. sampai dengan kesempatan mereka belajar dari orang-orang Islam itu, kaum Yahudi termasuk golongan  paling terbelakang dalam falsafat dan ilmu pengetahuan. Kata Max I dimont, seorang ahli peradaban Yahudi :
Ketika Yahudi menghadapi masyarakat terbuka dunia Islam, mereka adalah bangsa yang telah berumur 2.500 tahun...Tidak ada yang lebih terasa asing bagi kaum Yahudi daripada peradaban Islam yang fantastis ini, yang tumbuh dari debu padang pasir pada abad ke-7. tetapi juga tidak ada yang lebih mirip. meskipun mewakili suatu peradaban baru, suatu agama baru, dan suatu lingkungan social baru yang dibangun di atas dasar-dasar ekonomi baru, namun Islam mirip dengan” yang dikemas dan disajikan kepada kaum Yahudi seribu tahun sebelumnya ketika Iskandar Agung membuka pintu-pintu masyarakat Hallenis kepada mereka. Sekarang masyarakat Islam membuka pintu-pintu mesjid-mesjidnya, sekolah-sekolahnya, dan kamar-kamar tidurnya, (berturut-turut) untuk konversi, pendidikan, dan asimilasi.
Sudah tentu kaum Yahudi mencapai zaman keemasan dalam masa kebesaran islam itu tanpa menjadi Muslim. (Jika mereka telah menjadi Muslim, maka tidak lagi relevan, bahkan tidak dibenarkan, untuk berbicara tentang mereka sebagai kaum Yahudi ). sebagian besar kaum Muslim di seluruh dunia sekarang ini adalah keturunan bangsa-bangsa yang semula memeluk berbagai agama. Dan di Timur Tengah sebagian besar dari mereka adalah bekas bangsa-bangsa Kristen atau Yahudi). Karena itu yang diambil oleh orang Yahudi dari kaum Muslim, dalam hal ini Muslim Arab, bukanlah agama mereka atau kearab-arab an mereka (kecuali bahas dan adat istiadat lahiriah seperti pakaian, makanan, dll), melainkan bagian dari peradaban Islam aitu yang “netral” dan dapat disertai oleh kelompok-kelompok lain di luar Islam. Dalam hal ini yang paling penting ialah ilmu pengetahuan dan filsafat. Dan karena kedua bidang intelektual itu memang sebagian cukup besar dipinjam dan dikembangkan Umat islam dari warisan Yunani, maka kebangkitan kaum Yahudi dalam asuhan Islam itu daoat dikatakan banyak menggunakan unsure budaya atau pemikiran Yunani yang ‘netral’ itu.
Sekalipun demikian, tetap menarik untuk ditelaah, mengapa kaum Yahudi, sebagaimana dikemukakan di atas , harus menunggu satu millennium sampai datangny Islam untuk bersedia belajar dan memanfaatkan filsafat dan ilmu  pengetahuan Yunani? Padahal mereka dahulu sedemikian takutnya kepada kemungkinan terkena polusi dari bahaya peradaban asing dari Utara itu? Jawabannya ialah, menurut Max I. dimont, bahwa “ bahaya ‘ peradaban asing dari Yunani itu telah dijinakan oleh orang Islam, dan dibuatnya ibaratkan ‘virus yang mati’. virus itu masih mampu berfungsi, namun sudah tidak mampu lagi memproduksi racun ataupun penyakit. maka kaum Yahudi belajar dan mengambil filsafat dan ilmu pengetahuan dari Umat Islam itu ibarat menyuntikan, ke dalam tubuh sistem agama mereka, virus ‘penyakit’ dari Yunani yang oleh peradaban Islam telah dibuat menjadi virulen. injeksi virus dengan menggunakan jarum suntik peradaban islam itu menghasilkan dampak imunisasi tubuh agama yahudi dari bahaya budaya asing. Suatu Metafor yang sangat mengesankan dari Dimont, yang selengkapnya ia katakana, Sbb:
Kebangkitan Yahudi di Islam Barat (Spanyol), bagaimanapun, didasarkan kepada pemikiran Yahudi, bukan Arab. Kebangkitan itu, sebenarnya adalah penyudahan yang sukses dari suatu perputaran intelektual yang seharusnya sudah berlangsung seribu tahun sebelumnya dalam masa Hellenistik sejarah Yahudi, namun tidak terjadi. mengapa orang-orang Yahudi tidak menghasilkan Sastrawan , filsuf dan ilmuwan  dalam masa Hellenistik? mengapa sejarah yahudi harus menunggu satu milenium  sebelum Hellenisme itu dapat berkembang dalam jiwa orang Yahudi?
Jawabannya ialah bahwa kaum Yahudi dahulu dalam masa-masa Yunani takut bahwa suatu dosis budaya Yunani yang orisinil, tak terkotori, dan lebih unggul dapat menyapu bersih pemikiran Yahudi dalam suatu konfrontasi intelektual yang langsung. sekarang penyuntikan hama Hellenisme yang telah berumur seribu tahun dan tidur (dormant) itu melalui jarum peradaban Islam adalah seperti penyuntikan virus mati yang menjamin adanya kekebalan.
jadi, jelasnya, kaum Yahudi merasa aman terhadap falsafah dan ilmu pengetahuan setelah kedua-duanya itu lebih dahulu diislamkan. sedemikian rupa rasa aman kaum Yahudi itu sehingga mereka tidak pernah merasakan permusuhan samasekali terhadap budaya ‘asing’ itu. juga tidak lagi curiga kepada kemungkinan bahayanya. padahal yang mereka pelajari dari umat Islam itu adalah juga ‘Hikmah Yunani’ yang dahulu, para pemimpin agama mereka, memperingatkan jangan sampai mempelajarinya. kecuali jika “sudah tidak ada lagi siang ataupun malam “ (yakni, Kiamat).
Tetapi menurut Halkin, dan sama dengan pandangan Austryn Wolfson yang telah disinggung di muka, Kaum Yahudi mengambil dari umat islam tidak hanya bidang-bidang yang dianggap” netral” agama saja seperti filsafat dan ilmu pengetahuan, melainkan juga hal-hal yang bersifat keagamaan, malah keimanan dan akidah. ini dapat dilihat, meurut Halkin, dari kenyataan bagaimana para sarjana Yahudi, terutama di Timur, mempelajari ilmu Kalam dan menggunakannya. Ilmu kalam itu premis-premisnya pada mulanya juga dipinjam dari luar (yakni, dari Yunani, khususnya berkenaan dengan silogisme atau ilmu mantiq Aristoteles sebagai dukungan kepada argumen-argumen yang dikembangkannya). Tetapi premis –premis itu mengalami transformsi menyeluruh begitu rupa sehingga para pemikir Muslim sesungguhnya telah menciptakan disiplin ilmu yang samasekali baru. Maka lahirlah ilmu kalam yang bukan sekedat “theology” seperti yang ada dalam berbagai agama, melainkan sebuah” Ketuhana Dialektis” atau “ketuhanan Falsafi”, dan bersifat khas Islam. Kini Yahudi menggunakan ilmu kalam itu seperti milik sendiri, dan mereka mendapatkannya sangat berguna, antara lain dalam rangka polemic mereka dengan kaum Kristen tentang monotheisme melawan trinitaranisme. telah pula disebutkan bagaimana para filsuf Yahudi tidak hanya menggunakan kosa kata ilmu kalam dalam pembahasan-pembahasan keagamaan mereka, bahakan juga menjadikan al-Qur’an sebagai sumber pembuktian.
    
 Tantangan Pemikiran: Tantangan dan Harapan
Pengertian “inovasi” yang kiranya harus difahami sebagai pembaharuan, yang kata-kata padanannya dalam Bahasa arab adalah “tajdid, bukan bid’ah, ibda, ataupun ibtida”. sebab meskipun kata-kata ini juga mengandung makna kebaharuan, pembaharuan ataupun pembuatan hal baru (dan dalam Bahasa inggris acapkali diterjemahkan sebagai ‘Inovation”), namun konotasinya negative, karena secara semantic, mengandung arti pembuatan hal baru dalam agama an sich. secara kebahasaan sebetulnya kata-kata bid’ah dan tasrifnya itu mempunyai arti kreatifitas atau daya cipta. Maka Tuhan pun disebutkan dalan al-Qur’an sebagai al-badi’, Maha Kreatif atau Maha Berday cipta. dan jika Nabi SAW bersabda agar kita berbudi enggan mencontoh budi Tuhan (hadits temasyur: “ Takhallaqu bi Akhlaq Allah), maka kreatifitas atau daya cipta adalah hal yang sangat terpuji. namun, sudah dikatakan, tentu saja yang terpuji itu bukanlah kreatifitas atau dayacipta dalam hal agama itu sendiri, seperti misalnya, kretifitas atau daya cipta dalam masalah ibadah murni (al-Ibadah al-Mahdah). maka sama sekali tidak dapat dibenarkan, misalnya menambah jumlah rakaat dalam shalat atau atau memandang dan memasukan sesuatu yang sebenarnya hanya budaya belaka menjadi bagian dari agama murni. Dalam hal ini berlaku peringatan dalam kitab suci”ketahui lah hanya bagi Allah agama yang murni”, dan firman penegasan,”Mereka tidaklah diperintah melainkan untuk beribadat kepad Allah dengan memurnikan agama bagi-Nya saja, dan dengan semangat mencari kebenaran...” Agama adalah milik Allah semata. hanya Dial ah yang berwenang, yang kemudian disampaikan kepada kita melalui rasulNya sebagai pemilik ajaran (Shahib al-Syari’ah). maka kretifitas atau dayacipta dalam hal keagamaan murni (artinya, bukan dalam hal budaya keagamaan) adalah sama dengan tindakan mengambil wewenang Allah dan rasulNya. suatu perbuatan yang sesungguhnya tidak mungkin, sehingga yang memaksa melakukannya juga, menurut sabda Nabi Saw adalah sesat. Sejalan dengan itu, dalam ilmu pokok-pokok agama(ushul fiqh) ada kaidah yang berbunyi,”Pada dasarnya ibadat adalah terlarang , kecuali jika ada petunjuk sebaliknya”,(al-Asl fil Ibadah Al-Tahrim, illa Idza ma Dalla dallil ‘ala khilafihi). artinya, kita dilarang membuat dan menciptakan cara ibadah sendiri. Kita harus hanya melihat dan mempelajari, apakah ada bukti dalam sumber-sumber agama , yaitu kitab suci dan Sunnah nabi, bahwa suatu bentuk ibadat memang dibolehkan, dianjurkan, atau malah diwajibkan. Maka masalah ibadah murni itu harus ditempuh dengan seketat dan sebersih mungkin, dilakukan hanya menurut kitab dan sunnah (sejauh-jauh pengertian kita melalui usaha sungguh-sungguh untuk memahaminya, yaitu ijtihad), tidak boleh ditambah atau dikurangi.
Tapi sebaliknya, dalam masalah bukan ibadah kita tidak saja dibolehkan, bahkan dianjurkan, untuk berdaya cipta dan berkreasi sebanyak-banyaknya. karena itu kaidah yang berlaku adalah “Pada dasarnya dalam hal bukan ibadah adalah diperbolehkan, kecuali jika ada petunjuk sebaliknya (al-ashl fi ghair ibadah al ibahah illa idza ma dalla al-dallil ‘ala khilafihi). Yakni perkara diluar ibadah pada dasarnya diperkenankan (halal) untuk dijalankan, kecuali jika ada bukti larangan dari sumber agama (Kitab dan Sunnah). Karena itu kita tidak dibenarkan melarang sesuatu yang dibenarkan Allah, sebagaimana dengan sendirinya, tidak dibenarkan membolehkan sesuatu yang dilarang Allah.

Pola , format dan Agenda
Jika prinsip-prinsip itu telah kita fahami, kemudian kita mampu memproyeksikannya kepada yang telah terjadi dalam tradisi pemikiran Islam sebagaimana telah dijabarkan di atas, maka kiranya menjadi jelas, apa pola, format dan agenda inovasi Keislaman dalam bidang pemikiran. dan bila kita sudah mengerti bahwa suatu pemikiran (oleh manusia, dengan sendirinya) adalah bidang budaya, bukan agama dalam bentuknya yang murni (meskipun pemikiran islam adalah hasil budi daya manusia Muslim untuk memahami agamanya melalui kegiatan berfikir), maka dengan sendirinya inovasi dalam bidang pemikiran itu selalu dimungkinkan, bahkan dituntut dari masa ke masa. Jadi diperlukan pola berfikir yang mengenal dengan jelas apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan tersebut tadi, dalam suatu format yang mengenal dengan jelas pula mana yang agama murni dan mana yang budaya. dengan kata lain, format inovasi itu jadi kurang lebih sebuah penggantian kalimat arti kaidah-kaidah ushul fiqh tadi: inovasi dalam agama tidak dibenarkan , sedangkan inovasi dalam budaya dianjurkan. meskipun format serupa itu sesungguhnya sangat standar dalam Islam, namun, menurut pengamatan dan pengalaman, untuk kebanyakan orang tidak begitu jelas. Dan ini, seperti sudah disyaratkan di muka, merupakan tantangan inovasi.
Sebenarnya negeri kita memberi kesempatan dan harapan yang sangat baik untuk berlangsungnya inovasi-inovasi. Kesempatan dan harapan itu antara lain merupakan hikmah dari kenyataan bahwa pemikiran Islam di Indonesia belum terlalu “ekstablished” atau mapan. Dari satu segi, tidak adanya warisan pola pemikiran yang mapan itu memang dapat dipandang sebagai kerugian, karena berarti kemiskinan intelektual. Tetapi, dari segi lain, dapat merupakan faktor yang mengungtungkan, karena berarti terbuka lebar kemungkinan mengembangkan fikiran-fikiran baru dan segar. Sebab, jika kita salah mempresepsi masa lalu, suatu warisan pemikiran yang mapan dapat mempunyai efek pembelengguan dan pembatasan inovasi dan kreatifitas, seperti dengan mudah dapat disaksikan wujudnya pada banyak masyarakat negeri Muslim. tentu amat ideal kalau suatu masyarakat islam memiliki warisan intelektual yang mapan, lalu mampu mengemabangkannya secara kreatif seperti dikehendaki oleh kata-kata hikmah pada permulaan makalah ini, “Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik”.
Kesempatan dan harapan itu juga disebabkan oleh adanya berbagai gerakan pembaharuan dalam islam pada awal ini. Sejak Haji miskin pulang dari Mekkah dan mendorong lahirnya gerakan Padri di Sumatera Barat, kemudian munculnya gerakan-gerakan reformasi dengan pembentukan lembaga dan organisasi modern (model Barat)seperti Muhammadiyah,Persis, dan al-irsyad, ide-ide inovasi sudah banyak dikenal di negeri kita. karena itu agenda inovasi keislaman di negeri kita di segala bidang, termasuk bidang pemikiran, tidak akan terlalu jauh dari pengulangan agenda  berbagai gerakan reformasi yang lalu, dengan beberapa penekanan, penegasan dan peningkatan beberapa segi yang sebelum ini agaknya luput dari penglihatan, atau kurang mendapat perhatian, dengan tekanan yang lebih kuat akan pentingnya kesadaran mengapresiasi kekayaan intelektual islam internasional. Garis besar agenda itu adalah:
1.      Kembali kepada kitab suci dan sunnah nabi. ini adalah dalil klasik para pembaharu sejak masa Ibn Taymiyyah mengumandangkannya dengan lantang tujuh abad yang lalu. seruan itu mengisyaratkan penegasan bahwa agama yang benar ialah yang hanya yang ada dalam, atau sesuai dengan, ajaran kitab dan Sunnah. Maka dalil itu juga membawa akibat program usaha pemberantasan bid’ah, yaitu sesuatu yang sebenarnya bukan agama tetapi dianggap agama.
2.      Hal itu tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik kalau kita tidak mampu mengenali dengan jelas mana perkara yang benar-benar agama, dan mana pula yang sesungguhnya aspek cultural dari agama itu. persoalan mutlak-nisbi pada pemisahan mana hal yang benar benar dien dan mana yang minadien.
3.      Budaya dunia Islam Klasaik sedemikian kaya rayanya, sehingga akan merupakan sumber   pemiskinan intelektual yang ironis jika sejarahnya yang telah berjalan lebih dari empat belas abad itu diabaikan dan tidak dijadikan bahan pelajaran.belajar dari sejarah merupakan perintah langsung dari Allah untuk memperhatikan sunnatullah. termasuk disini ialah keharusan mempelajari secukupnya warisan kekayaan intelektual islam.
4.      Inti agama Isalam seperti diketahui, ialah Tauhid. dalam agenda inovasi yang dipertegas, harus lebih ditekankan implikasi tauhid yang amat prinsipil seperti pembebasan dari mitologi, pemusatan kesucian (tasbih atau taqdis) hanya kepada Allah (hanya Dia yang bersifat Subbuh, Quddus, maha Suci, Maha Sakral), kemudian memandang alam raya sebagai objek yang terbuka, merupakan ayat-ayat Kauniyah yang harus dibaca. beberapa objek yang semula mengandung makna mitologis mungkin masih bertahan dalam kehidupan kita sehari-hari, namun seorang Muslim harus mampu mendemotologisasi, mendesakralisasi dan mendevaluasinya. (contoh ialah lambing garuda bagi Negara dan ganesha bagi ITB, yang bekas mitologi Hindu, yang telah didevaluasi dan menjadi hanya bernilai dekoratif-ornamental belaka dll)
5.      Bergandengan dengan itu ialah kesadaran bahwa Allah adalah maha Mutlak, maka tidak mungkin hakikat-Nya difahami oleh manusia yang nisbi ini. penegasan dalam kitab suci bahwa Allah itu tidak sebanding atau analog dengan apapun adalah sentral sekali dalam sistem faham Ketuhanan islam.karena itu harus disadari implikasinya yang jauh dan mendalam, yaitu bahwa manusia tidak boleh memutlakan sesuatu kecuali Allah. memutlakan sesuatu kecuali Allah adalah sama dengan mengangkat sesuatu itu setaraf dengan Allah, jadi jelas suatu kemusyrikan.
6.      Allah adalah asal dan tujuan hidup manusia (Inna Lillahi wa inna ilaihiraji’un). Kerana itu Allah harus menjadi pusat pandangan hidup manusia dan orientasi kegiatannya. tetapi karena Allah tidak mungkin diketahui, maka orientasi hidup kepada Nya itu tidak untuk “mengetahui” secara “genostik” akan hakikat Nya, melainkan demi memperoleh perkenan atau ridha-Nya belaka. Maka persoalannya ialah bagaimana manusia terus menerus mendekati Allah (taqarrub ilallah) dengan menempuh jalan )shirath, Sabil, syariah, thariqah, minhaj, mansak- yang kesemuanya mengandung makna ‘jalan”) menuju kepada-Nya. jadi seorang muslim harus terus bergerak, dinamis, tidak kenal berhenti.
7.      Itulah maknanya bahwa takwa kepada Allah dan ridha –Nya (juga dinamakan jiwa Rabbaniyyah, Ribbiyah-semangat ketuhanan) disebut dalam kitab suci sebagai asas  yang benar bagi bangunan kehidupan manusia, individual maupun social. semua kegiatannya dalam berbudidaya haruslah berasaskan semangat kesadaran akan kehadiran tuhan dalam hidup dan keinginan mencapai perkenan-Nya.
8.      Sejalan dengan itu maka ijtihad adalah suatu kemestian. jika ijtihad adalah usaha secara terus menerus dengan penuh kesungguhan untuk menangkap pesan agama dan bagaimana mewujudkan pesan itu dalam kaitannya dengan kenyataan ruang dan waktu, maka meninggalkan ijtihad berarti menganggap persoalan sudah selesai dan kita semua “sudah sampai“. dengan perkataan lain, itu berarti suatu klaim kemutlakan untuk apa yang telah dicapai dan ada di tangan, padahal semuanya hasil usaha menusia sendiri yang nisbi belaka.
9.      Bersamaan dengan itu penting sekali mamahami bahwa ilmu tidak mempunyai batas (limit), sebab batas ilmu adalah ilmu Allah  SWT yang tidak terjangkau oleh siapapun dari makhluk Nya. Yang ada pada manusia ialah “perbatasan”(frontier) dari ilmu yang dikembangkan manusia sendiri. oleh karena itu, sesuai dengan  prinsip ijtihad, manusia harus selalu berusaha untuk menembus perbatasan itu, dengan temuan-temuan baru dan kreasi-kreasi baru. Manusia harus kreatif dan inovativ
10.  Maka lukisan etos keilmuan yang benar menurut islam (seperti dicerminkan dalam ungkapan Ibn Khaldun pada ujung sekali kitab Muqaddimah-nya) adalah bagaikan anak panah yang menembus dinding perbatasan pengetahuan manusia saat itu, bukannya yang kembali ke belakang karena tidak mampu atau tidak mau menembus dinding itu (yaitu sikap yang menghasilkan penghayatan kepada ilmu secara dogmatis dan serba final)
11.  Berdasarkan kesadaran akan kenisbian manusia, maka dengan sendirinya hasil suatu ijtihad tidak selamanya benar. keterbatasan manusia membuatnya selalu mungkin salah. tetapi dengan niat yang tulus guna mencapai ridha Allah, suatu kegiatan ijtihad harus dilakukan tanpa takut salah, sebab takut salah justru adalah kesalahan yang lebih berbahaya. penting sekali menghayati sabda nabi yang terkenal, bahwa orang yang berijtihad jika benar akan mendapatkan dua pahala dan jika salah masih mendapat satu pahala. ini adalah dorongan yang sangat kuat untuk berkreasi dan berinovasi.
12.  Kesadaran akan kenisbian diri sendiri dan kemungkinan salah itu terkait dengan prinsip amat penting lain, yaitu keharusan seseorang senantiasa bersedia mendengarkan pendapat orang lain dengan hati terbuka. apalagi disebutkan dalam kitab suci bahwa sikap terbuka itu merupakan indikasi adanya hidayah dari Allah. dan karena keharusan “mendengar’ merupakan suatu sisi yang mensyaratkan adanya sisi yang lain, yaitu”hak untuk berbicara” , maka gabungan antara keduanya itu melahirkan prinsip musyawarah dalam semangat memberi dan menerima, salaing berpesan tentang kebenaran, dan saling berpesan tentang ketabahan menegakan kebenaran itu.
13.  Hal di atas itu menyangkut prisnsip amat penting lagi, yaitu bahwa dalam pergaulan sesama manusia, khususnya dari kalangan sesama kaum beriman, harus ditetapkan pandangan kenisbian kedalam (elektivisme Internal). karena itu harus ada toleransi dan sikap menahan diri dari merendahkan orang, yaitu sikap yang dalam kitab suci disebut sebagai tindakan pertama dalam rangka menegakan persaudaraan.         

   
  
      
Tradisi Pemikiran Islam dan Sikap Terbuka Kepada Ilmu Sikap kaum Muslim terhadap ilmu pengetahuan ialah spontan menghargai, mengadaptasi, dan memanfaatkan, hal ini akibat universalisme dan kosmopolitanisme Islam yang benar-benar dihayati oleh kaum Muslim Klasik (Salaf). Lebih jauh, Sikap serba positif-optimis kaum Muslim terdahulu itu juga dapat ditelusuri dalam banyak ajaran spesifik Islam. Misalnya, bahwa orang-orang yang beriman tidak perlu merasa takut atau khawatir; bahwa mereka yang benar-benar beriman tidak perlu “minder” atau kurang yakin menghadapi orang lain, karena mereka membawa misi perdamaian (Silm, salam, Salamah’Selamat”), sehingga mereka sesungguhnya adalah unggul terhadap golongan lain,dst. Rasa percaya diri yang besar kaum Muslim terdahulu itu memang ditunjang oleh keunggulan politik dan ekonomi, seperti sering dikemukakan orang, namun terutama karena penghayatan akan ajaran agama mereka sendiri itu. dalam soal budaya (duniawi), orang-orang Arab dari Jazirah, dari banyak segi dan ukuran adalah kurang daripada bangsa-bangsa di sekitarnya seperti Persia dan Byzantium, dua adikuasa “Barat dan Timut” saat itu. tetapi mereka menghadapi keduanya dengan penuh percaya diri berdasarkan iman. Jadi benar-benar kaum Muslim itu “tidak takut dan tidak khawatir” kepada mereka, termasuk dalam bidang pemikiran dan budaya pada umumnya, sehingga mereka dengan bebas dan tanpa beban psikoloogis apapun mengambil mana saja yang baik dan membuang mana saja yang buruk dari budaya asing itu. Karena itu, sebagai contoh, para filsup Muslim tidak segan-segan mengambil dan menggunakan unsur-unsur budaya Yunani yang “netral” seperti sebagian besar falsafat dan Ilmu pengetahuan, tetapi mereka menyingkirkan unsure-unsur yang tidak sejalan dengan pok ok-pokok ajaran Islam seperi mitologi-mitologi yang kebanyakan menjadi tema sastra Yunani. Maka sementara kaum Muslim mengenal hampir semua warisan pemikiran Yunani di Bidang filsafat dan ilmu pengetahuan merka tidak banyak mengetahui sastra Yunani seperti yang ada di balik nama-nama Homerus, Sophocles, Euripides, Aesop, Herodotus, dll. Bagi kaum Muslim, mitologi yang banyak mewarnai tema sastra mereka itu termasuk jenis kemusyrikan. juga tema panggung mereka yang berkisasr pada “tragedy” misalnya, dipandang tidak cocok dengan semangat islam yang optimis dan positif terhadap hidup ini. Sikap serba percaya diri kaum Muslim klasik itu berlawanan sekali dengan sikap serba kuatir dari kaum yahudi Kuno, yang membuat mereka ini enggan, malah menolah, untuk meminjam budaya asing karena takut dan khawatir menjadi larut atau mengalami pengotoraan sehingga mengancam “kemurnian” ajaran mereka yang mereka warisi turun temurun. Berkenaan dengan filsaft dan ilmu pengetahuan Yunani, misalnya, sesugguhnya kaum Yahudi telah berkenalan dengan itu sekitar seribu tahun sebelum Islam (I), yaitu sejak permulaan hellenisasi Timur Tengah oleh ekspansi militer –politik dan iskandar Agung dari Macedonia, seorang murid filsuf Yunani Kuno terkemuka, Aristoteles. Namun pada saat itu kaum Yahudi enggan, segan dan akhirnya menolak untuk meminjam dan menggunakan apa yang bermanfaat dari budaya Yunani itu, dan harus menunggu seribu tahun sampai tampilnya para ilmuwan dan filsuf Muslim, karena keterbukaaan islam dan toleransinya yang amat besar. sampai dengan kesempatan mereka belajar dari orang-orang Islam itu, kaum Yahudi termasuk golongan paling terbelakang dalam falsafat dan ilmu pengetahuan. Kata Max I dimont, seorang ahli peradaban Yahudi : Ketika Yahudi menghadapi masyarakat terbuka dunia Islam, mereka adalah bangsa yang telah berumur 2.500 tahun...Tidak ada yang lebih terasa asing bagi kaum Yahudi daripada peradaban Islam yang fantastis ini, yang tumbuh dari debu padang pasir pada abad ke-7. tetapi juga tidak ada yang lebih mirip. meskipun mewakili suatu peradaban baru, suatu agama baru, dan suatu lingkungan social baru yang dibangun di atas dasar-dasar ekonomi baru, namun Islam mirip dengan” yang dikemas dan disajikan kepada kaum Yahudi seribu tahun sebelumnya ketika Iskandar Agung membuka pintu-pintu masyarakat Hallenis kepada mereka. Sekarang masyarakat Islam membuka pintu-pintu mesjid-mesjidnya, sekolah-sekolahnya, dan kamar-kamar tidurnya, (berturut-turut) untuk konversi, pendidikan, dan asimilasi. Sudah tentu kaum Yahudi mencapai zaman keemasan dalam masa kebesaran islam itu tanpa menjadi Muslim. (Jika mereka telah menjadi Muslim, maka tidak lagi relevan, bahkan tidak dibenarkan, untuk berbicara tentang mereka sebagai kaum Yahudi ). sebagian besar kaum Muslim di seluruh dunia sekarang ini adalah keturunan bangsa-bangsa yang semula memeluk berbagai agama. Dan di Timur Tengah sebagian besar dari mereka adalah bekas bangsa-bangsa Kristen atau Yahudi). Karena itu yang diambil oleh orang Yahudi dari kaum Muslim, dalam hal ini Muslim Arab, bukanlah agama mereka atau kearab-arab an mereka (kecuali bahas dan adat istiadat lahiriah seperti pakaian, makanan, dll), melainkan bagian dari peradaban Islam aitu yang “netral” dan dapat disertai oleh kelompok-kelompok lain di luar Islam. Dalam hal ini yang paling penting ialah ilmu pengetahuan dan filsafat. Dan karena kedua bidang intelektual itu memang sebagian cukup besar dipinjam dan dikembangkan Umat islam dari warisan Yunani, maka kebangkitan kaum Yahudi dalam asuhan Islam itu daoat dikatakan banyak menggunakan unsure budaya atau pemikiran Yunani yang ‘netral’ itu. Sekalipun demikian, tetap menarik untuk ditelaah, mengapa kaum Yahudi, sebagaimana dikemukakan di atas , harus menunggu satu millennium sampai datangny Islam untuk bersedia belajar dan memanfaatkan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani? Padahal mereka dahulu sedemikian takutnya kepada kemungkinan terkena polusi dari bahaya peradaban asing dari Utara itu? Jawabannya ialah, menurut Max I. dimont, bahwa “ bahaya ‘ peradaban asing dari Yunani itu telah dijinakan oleh orang Islam, dan dibuatnya ibaratkan ‘virus yang mati’. virus itu masih mampu berfungsi, namun sudah tidak mampu lagi memproduksi racun ataupun penyakit. maka kaum Yahudi belajar dan mengambil filsafat dan ilmu pengetahuan dari Umat Islam itu ibarat menyuntikan, ke dalam tubuh sistem agama mereka, virus ‘penyakit’ dari Yunani yang oleh peradaban Islam telah dibuat menjadi virulen. injeksi virus dengan menggunakan jarum suntik peradaban islam itu menghasilkan dampak imunisasi tubuh agama yahudi dari bahaya budaya asing. Suatu Metafor yang sangat mengesankan dari Dimont, yang selengkapnya ia katakana, Sbb: Kebangkitan Yahudi di Islam Barat (Spanyol), bagaimanapun, didasarkan kepada pemikiran Yahudi, bukan Arab. Kebangkitan itu, sebenarnya adalah penyudahan yang sukses dari suatu perputaran intelektual yang seharusnya sudah berlangsung seribu tahun sebelumnya dalam masa Hellenistik sejarah Yahudi, namun tidak terjadi. mengapa orang-orang Yahudi tidak menghasilkan Sastrawan , filsuf dan ilmuwan dalam masa Hellenistik? mengapa sejarah yahudi harus menunggu satu milenium sebelum Hellenisme itu dapat berkembang dalam jiwa orang Yahudi? Jawabannya ialah bahwa kaum Yahudi dahulu dalam masa-masa Yunani takut bahwa suatu dosis budaya Yunani yang orisinil, tak terkotori, dan lebih unggul dapat menyapu bersih pemikiran Yahudi dalam suatu konfrontasi intelektual yang langsung. sekarang penyuntikan hama Hellenisme yang telah berumur seribu tahun dan tidur (dormant) itu melalui jarum peradaban Islam adalah seperti penyuntikan virus mati yang menjamin adanya kekebalan. jadi, jelasnya, kaum Yahudi merasa aman terhadap falsafah dan ilmu pengetahuan setelah kedua-duanya itu lebih dahulu diislamkan. sedemikian rupa rasa aman kaum Yahudi itu sehingga mereka tidak pernah merasakan permusuhan samasekali terhadap budaya ‘asing’ itu. juga tidak lagi curiga kepada kemungkinan bahayanya. padahal yang mereka pelajari dari umat Islam itu adalah juga ‘Hikmah Yunani’ yang dahulu, para pemimpin agama mereka, memperingatkan jangan sampai mempelajarinya. kecuali jika “sudah tidak ada lagi siang ataupun malam “ (yakni, Kiamat). Tetapi menurut Halkin, dan sama dengan pandangan Austryn Wolfson yang telah disinggung di muka, Kaum Yahudi mengambil dari umat islam tidak hanya bidang-bidang yang dianggap” netral” agama saja seperti filsafat dan ilmu pengetahuan, melainkan juga hal-hal yang bersifat keagamaan, malah keimanan dan akidah. ini dapat dilihat, meurut Halkin, dari kenyataan bagaimana para sarjana Yahudi, terutama di Timur, mempelajari ilmu Kalam dan menggunakannya. Ilmu kalam itu premis-premisnya pada mulanya juga dipinjam dari luar (yakni, dari Yunani, khususnya berkenaan dengan silogisme atau ilmu mantiq Aristoteles sebagai dukungan kepada argumen-argumen yang dikembangkannya). Tetapi premis –premis itu mengalami transformsi menyeluruh begitu rupa sehingga para pemikir Muslim sesungguhnya telah menciptakan disiplin ilmu yang samasekali baru. Maka lahirlah ilmu kalam yang bukan sekedat “theology” seperti yang ada dalam berbagai agama, melainkan sebuah” Ketuhana Dialektis” atau “ketuhanan Falsafi”, dan bersifat khas Islam. Kini Yahudi menggunakan ilmu kalam itu seperti milik sendiri, dan mereka mendapatkannya sangat berguna, antara lain dalam rangka polemic mereka dengan kaum Kristen tentang monotheisme melawan trinitaranisme. telah pula disebutkan bagaimana para filsuf Yahudi tidak hanya menggunakan kosa kata ilmu kalam dalam pembahasan-pembahasan keagamaan mereka, bahakan juga menjadikan al-Qur’an sebagai sumber pembuktian. Tantangan Pemikiran: Tantangan dan Harapan Pengertian “inovasi” yang kiranya harus difahami sebagai pembaharuan, yang kata-kata padanannya dalam Bahasa arab adalah “tajdid, bukan bid’ah, ibda, ataupun ibtida”. sebab meskipun kata-kata ini juga mengandung makna kebaharuan, pembaharuan ataupun pembuatan hal baru (dan dalam Bahasa inggris acapkali diterjemahkan sebagai ‘Inovation”), namun konotasinya negative, karena secara semantic, mengandung arti pembuatan hal baru dalam agama an sich. secara kebahasaan sebetulnya kata-kata bid’ah dan tasrifnya itu mempunyai arti kreatifitas atau daya cipta. Maka Tuhan pun disebutkan dalan al-Qur’an sebagai al-badi’, Maha Kreatif atau Maha Berday cipta. dan jika Nabi SAW bersabda agar kita berbudi enggan mencontoh budi Tuhan (hadits temasyur: “ Takhallaqu bi Akhlaq Allah), maka kreatifitas atau daya cipta adalah hal yang sangat terpuji. namun, sudah dikatakan, tentu saja yang terpuji itu bukanlah kreatifitas atau dayacipta dalam hal agama itu sendiri, seperti misalnya, kretifitas atau daya cipta dalam masalah ibadah murni (al-Ibadah al-Mahdah). maka sama sekali tidak dapat dibenarkan, misalnya menambah jumlah rakaat dalam shalat atau atau memandang dan memasukan sesuatu yang sebenarnya hanya budaya belaka menjadi bagian dari agama murni. Dalam hal ini berlaku peringatan dalam kitab suci”ketahui lah hanya bagi Allah agama yang murni”, dan firman penegasan,”Mereka tidaklah diperintah melainkan untuk beribadat kepad Allah dengan memurnikan agama bagi-Nya saja, dan dengan semangat mencari kebenaran...” Agama adalah milik Allah semata. hanya Dial ah yang berwenang, yang kemudian disampaikan kepada kita melalui rasulNya sebagai pemilik ajaran (Shahib al-Syari’ah). maka kretifitas atau dayacipta dalam hal keagamaan murni (artinya, bukan dalam hal budaya keagamaan) adalah sama dengan tindakan mengambil wewenang Allah dan rasulNya. suatu perbuatan yang sesungguhnya tidak mungkin, sehingga yang memaksa melakukannya juga, menurut sabda Nabi Saw adalah sesat. Sejalan dengan itu, dalam ilmu pokok-pokok agama(ushul fiqh) ada kaidah yang berbunyi,”Pada dasarnya ibadat adalah terlarang , kecuali jika ada petunjuk sebaliknya”,(al-Asl fil Ibadah Al-Tahrim, illa Idza ma Dalla dallil ‘ala khilafihi). artinya, kita dilarang membuat dan menciptakan cara ibadah sendiri. Kita harus hanya melihat dan mempelajari, apakah ada bukti dalam sumber-sumber agama , yaitu kitab suci dan Sunnah nabi, bahwa suatu bentuk ibadat memang dibolehkan, dianjurkan, atau malah diwajibkan. Maka masalah ibadah murni itu harus ditempuh dengan seketat dan sebersih mungkin, dilakukan hanya menurut kitab dan sunnah (sejauh-jauh pengertian kita melalui usaha sungguh-sungguh untuk memahaminya, yaitu ijtihad), tidak boleh ditambah atau dikurangi. Tapi sebaliknya, dalam masalah bukan ibadah kita tidak saja dibolehkan, bahkan dianjurkan, untuk berdaya cipta dan berkreasi sebanyak-banyaknya. karena itu kaidah yang berlaku adalah “Pada dasarnya dalam hal bukan ibadah adalah diperbolehkan, kecuali jika ada petunjuk sebaliknya (al-ashl fi ghair ibadah al ibahah illa idza ma dalla al-dallil ‘ala khilafihi). Yakni perkara diluar ibadah pada dasarnya diperkenankan (halal) untuk dijalankan, kecuali jika ada bukti larangan dari sumber agama (Kitab dan Sunnah). Karena itu kita tidak dibenarkan melarang sesuatu yang dibenarkan Allah, sebagaimana dengan sendirinya, tidak dibenarkan membolehkan sesuatu yang dilarang Allah. Pola , format dan Agenda Jika prinsip-prinsip itu telah kita fahami, kemudian kita mampu memproyeksikannya kepada yang telah terjadi dalam tradisi pemikiran Islam sebagaimana telah dijabarkan di atas, maka kiranya menjadi jelas, apa pola, format dan agenda inovasi Keislaman dalam bidang pemikiran. dan bila kita sudah mengerti bahwa suatu pemikiran (oleh manusia, dengan sendirinya) adalah bidang budaya, bukan agama dalam bentuknya yang murni (meskipun pemikiran islam adalah hasil budi daya manusia Muslim untuk memahami agamanya melalui kegiatan berfikir), maka dengan sendirinya inovasi dalam bidang pemikiran itu selalu dimungkinkan, bahkan dituntut dari masa ke masa. Jadi diperlukan pola berfikir yang mengenal dengan jelas apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan tersebut tadi, dalam suatu format yang mengenal dengan jelas pula mana yang agama murni dan mana yang budaya. dengan kata lain, format inovasi itu jadi kurang lebih sebuah penggantian kalimat arti kaidah-kaidah ushul fiqh tadi: inovasi dalam agama tidak dibenarkan , sedangkan inovasi dalam budaya dianjurkan. meskipun format serupa itu sesungguhnya sangat standar dalam Islam, namun, menurut pengamatan dan pengalaman, untuk kebanyakan orang tidak begitu jelas. Dan ini, seperti sudah disyaratkan di muka, merupakan tantangan inovasi. Sebenarnya negeri kita memberi kesempatan dan harapan yang sangat baik untuk berlangsungnya inovasi-inovasi. Kesempatan dan harapan itu antara lain merupakan hikmah dari kenyataan bahwa pemikiran Islam di Indonesia belum terlalu “ekstablished” atau mapan. Dari satu segi, tidak adanya warisan pola pemikiran yang mapan itu memang dapat dipandang sebagai kerugian, karena berarti kemiskinan intelektual. Tetapi, dari segi lain, dapat merupakan faktor yang mengungtungkan, karena berarti terbuka lebar kemungkinan mengembangkan fikiran-fikiran baru dan segar. Sebab, jika kita salah mempresepsi masa lalu, suatu warisan pemikiran yang mapan dapat mempunyai efek pembelengguan dan pembatasan inovasi dan kreatifitas, seperti dengan mudah dapat disaksikan wujudnya pada banyak masyarakat negeri Muslim. tentu amat ideal kalau suatu masyarakat islam memiliki warisan intelektual yang mapan, lalu mampu mengemabangkannya secara kreatif seperti dikehendaki oleh kata-kata hikmah pada permulaan makalah ini, “Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Kesempatan dan harapan itu juga disebabkan oleh adanya berbagai gerakan pembaharuan dalam islam pada awal ini. Sejak Haji miskin pulang dari Mekkah dan mendorong lahirnya gerakan Padri di Sumatera Barat, kemudian munculnya gerakan-gerakan reformasi dengan pembentukan lembaga dan organisasi modern (model Barat)seperti Muhammadiyah,Persis, dan al-irsyad, ide-ide inovasi sudah banyak dikenal di negeri kita. karena itu agenda inovasi keislaman di negeri kita di segala bidang, termasuk bidang pemikiran, tidak akan terlalu jauh dari pengulangan agenda berbagai gerakan reformasi yang lalu, dengan beberapa penekanan, penegasan dan peningkatan beberapa segi yang sebelum ini agaknya luput dari penglihatan, atau kurang mendapat perhatian, dengan tekanan yang lebih kuat akan pentingnya kesadaran mengapresiasi kekayaan intelektual islam internasional. Garis besar agenda itu adalah: 1. Kembali kepada kitab suci dan sunnah nabi. ini adalah dalil klasik para pembaharu sejak masa Ibn Taymiyyah mengumandangkannya dengan lantang tujuh abad yang lalu. seruan itu mengisyaratkan penegasan bahwa agama yang benar ialah yang hanya yang ada dalam, atau sesuai dengan, ajaran kitab dan Sunnah. Maka dalil itu juga membawa akibat program usaha pemberantasan bid’ah, yaitu sesuatu yang sebenarnya bukan agama tetapi dianggap agama. 2. Hal itu tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik kalau kita tidak mampu mengenali dengan jelas mana perkara yang benar-benar agama, dan mana pula yang sesungguhnya aspek cultural dari agama itu. persoalan mutlak-nisbi pada pemisahan mana hal yang benar benar dien dan mana yang minadien. 3. Budaya dunia Islam Klasaik sedemikian kaya rayanya, sehingga akan merupakan sumber pemiskinan intelektual yang ironis jika sejarahnya yang telah berjalan lebih dari empat belas abad itu diabaikan dan tidak dijadikan bahan pelajaran.belajar dari sejarah merupakan perintah langsung dari Allah untuk memperhatikan sunnatullah. termasuk disini ialah keharusan mempelajari secukupnya warisan kekayaan intelektual islam. 4. Inti agama Isalam seperti diketahui, ialah Tauhid. dalam agenda inovasi yang dipertegas, harus lebih ditekankan implikasi tauhid yang amat prinsipil seperti pembebasan dari mitologi, pemusatan kesucian (tasbih atau taqdis) hanya kepada Allah (hanya Dia yang bersifat Subbuh, Quddus, maha Suci, Maha Sakral), kemudian memandang alam raya sebagai objek yang terbuka, merupakan ayat-ayat Kauniyah yang harus dibaca. beberapa objek yang semula mengandung makna mitologis mungkin masih bertahan dalam kehidupan kita sehari-hari, namun seorang Muslim harus mampu mendemotologisasi, mendesakralisasi dan mendevaluasinya. (contoh ialah lambing garuda bagi Negara dan ganesha bagi ITB, yang bekas mitologi Hindu, yang telah didevaluasi dan menjadi hanya bernilai dekoratif-ornamental belaka dll) 5. Bergandengan dengan itu ialah kesadaran bahwa Allah adalah maha Mutlak, maka tidak mungkin hakikat-Nya difahami oleh manusia yang nisbi ini. penegasan dalam kitab suci bahwa Allah itu tidak sebanding atau analog dengan apapun adalah sentral sekali dalam sistem faham Ketuhanan islam.karena itu harus disadari implikasinya yang jauh dan mendalam, yaitu bahwa manusia tidak boleh memutlakan sesuatu kecuali Allah. memutlakan sesuatu kecuali Allah adalah sama dengan mengangkat sesuatu itu setaraf dengan Allah, jadi jelas suatu kemusyrikan. 6. Allah adalah asal dan tujuan hidup manusia (Inna Lillahi wa inna ilaihiraji’un). Kerana itu Allah harus menjadi pusat pandangan hidup manusia dan orientasi kegiatannya. tetapi karena Allah tidak mungkin diketahui, maka orientasi hidup kepada Nya itu tidak untuk “mengetahui” secara “genostik” akan hakikat Nya, melainkan demi memperoleh perkenan atau ridha-Nya belaka. Maka persoalannya ialah bagaimana manusia terus menerus mendekati Allah (taqarrub ilallah) dengan menempuh jalan )shirath, Sabil, syariah, thariqah, minhaj, mansak- yang kesemuanya mengandung makna ‘jalan”) menuju kepada-Nya. jadi seorang muslim harus terus bergerak, dinamis, tidak kenal berhenti. 7. Itulah maknanya bahwa takwa kepada Allah dan ridha –Nya (juga dinamakan jiwa Rabbaniyyah, Ribbiyah-semangat ketuhanan) disebut dalam kitab suci sebagai asas yang benar bagi bangunan kehidupan manusia, individual maupun social. semua kegiatannya dalam berbudidaya haruslah berasaskan semangat kesadaran akan kehadiran tuhan dalam hidup dan keinginan mencapai perkenan-Nya. 8. Sejalan dengan itu maka ijtihad adalah suatu kemestian. jika ijtihad adalah usaha secara terus menerus dengan penuh kesungguhan untuk menangkap pesan agama dan bagaimana mewujudkan pesan itu dalam kaitannya dengan kenyataan ruang dan waktu, maka meninggalkan ijtihad berarti menganggap persoalan sudah selesai dan kita semua “sudah sampai“. dengan perkataan lain, itu berarti suatu klaim kemutlakan untuk apa yang telah dicapai dan ada di tangan, padahal semuanya hasil usaha menusia sendiri yang nisbi belaka. 9. Bersamaan dengan itu penting sekali mamahami bahwa ilmu tidak mempunyai batas (limit), sebab batas ilmu adalah ilmu Allah SWT yang tidak terjangkau oleh siapapun dari makhluk Nya. Yang ada pada manusia ialah “perbatasan”(frontier) dari ilmu yang dikembangkan manusia sendiri. oleh karena itu, sesuai dengan prinsip ijtihad, manusia harus selalu berusaha untuk menembus perbatasan itu, dengan temuan-temuan baru dan kreasi-kreasi baru. Manusia harus kreatif dan inovativ 10. Maka lukisan etos keilmuan yang benar menurut islam (seperti dicerminkan dalam ungkapan Ibn Khaldun pada ujung sekali kitab Muqaddimah-nya) adalah bagaikan anak panah yang menembus dinding perbatasan pengetahuan manusia saat itu, bukannya yang kembali ke belakang karena tidak mampu atau tidak mau menembus dinding itu (yaitu sikap yang menghasilkan penghayatan kepada ilmu secara dogmatis dan serba final) 11. Berdasarkan kesadaran akan kenisbian manusia, maka dengan sendirinya hasil suatu ijtihad tidak selamanya benar. keterbatasan manusia membuatnya selalu mungkin salah. tetapi dengan niat yang tulus guna mencapai ridha Allah, suatu kegiatan ijtihad harus dilakukan tanpa takut salah, sebab takut salah justru adalah kesalahan yang lebih berbahaya. penting sekali menghayati sabda nabi yang terkenal, bahwa orang yang berijtihad jika benar akan mendapatkan dua pahala dan jika salah masih mendapat satu pahala. ini adalah dorongan yang sangat kuat untuk berkreasi dan berinovasi. 12. Kesadaran akan kenisbian diri sendiri dan kemungkinan salah itu terkait dengan prinsip amat penting lain, yaitu keharusan seseorang senantiasa bersedia mendengarkan pendapat orang lain dengan hati terbuka. apalagi disebutkan dalam kitab suci bahwa sikap terbuka itu merupakan indikasi adanya hidayah dari Allah. dan karena keharusan “mendengar’ merupakan suatu sisi yang mensyaratkan adanya sisi yang lain, yaitu”hak untuk berbicara” , maka gabungan antara keduanya itu melahirkan prinsip musyawarah dalam semangat memberi dan menerima, salaing berpesan tentang kebenaran, dan saling berpesan tentang ketabahan menegakan kebenaran itu. 13. Hal di atas itu menyangkut prisnsip amat penting lagi, yaitu bahwa dalam pergaulan sesama manusia, khususnya dari kalangan sesama kaum beriman, harus ditetapkan pandangan kenisbian kedalam (elektivisme Internal). karena itu harus ada toleransi dan sikap menahan diri dari merendahkan orang, yaitu sikap yang dalam kitab suci disebut sebagai tindakan pertama dalam rangka menegakan persaudaraan.

0 komentar:

Posting Komentar