Pages

Sabtu, 10 November 2012

ULÛMUL QUR’AN


RENCANA PROGRAM  KEGIATAN  PEMBELAJARAN  SEMESTER ‘ULÛMUL QUR’AN

DI PASCASARJANA IAID DARUSSALAM



A.   Deskripsi Mata Kuliah

Alqur’an turun ke dunia tidak dalam suatu ruang dan waktu yang hampa nilai, melainkan di dalam masyarakat yang sarat dengan berbagai nilai budaya dan religius. Di kawasan Timur Tengah ketika itu,  sudah ada tiga kekuatan yang cukup berpengaruh, yaitu Rumawi Kristen yang berpengaruh di sepanjang Laut Merah, Persia Zoroaster yang berpusat di Mesopotamia dengan pengaruh luas di sebelah Timur Jazirah Arab sampai di Pesisir Pantai Yaman dan kerajaan-kerajaan kecil di Arabia Selatan dengan peradaban yang khas seperti kerajaan Himyar pada abad keenam.[1]
Sistem-sistem sosial kemasyrakatan dan lembaga-lembaga pemerintahan sudah dikenal di kawasan tersebut. Beberapa daerah Arab yang menjadi kawasan penyangga ketika itu berada di bawah pengaruh dua imperium besar, Byzantium dan Persia. Di sebelah utara agak ke barat,  ada Gassan yang berada di bawah pengaruh Byzantium; sementara di sebelah utara agak ke timur ada Hirah yang juga dikenal dengan Lakhmid, berada di bawah pengaruh Persia. Daerah-daerah penyangga ini membuat Hijaz dan Thaif di bagian selatan, yang juga dikenal sebagai basis perjuangan Nabi SAW tidak mendapat pengaruh politik secara langsung dari kedua imperium tersebut.
 Kehadiran Islam di kawasan ini bisa dilihat sebagai kelanjutan tradisi agama-agama monoteistik (Yahudi-kristen). Agama-agama ini menurut Fazlur Rahman, telah berjasa dalam melakukan proses peragian (fermentation process).[2] Islam tidak dirasakan sebagai sesuatu yang terlalu asing di negeri Arab, karena monoteisme yang merupakan inti ajarannya telah dikenal luas di wilayah-wilayah jajahan imperium Rumawi Timur (Byzantium). Alqur’an turun dalam kurun waktu 23 tahun yang dapat dibagi kepada dua fase, yaitu ayat-ayat yang turun di Makkah sebelum hijrah (Makiyyah) dan ayat-ayat yang turun sesudah Nabi SAW hijrah ke Madinah (Madaniyyah). Semua ini membuktikan adanya hubungan dialektis dengan ruang dan waktu, ketika ia diturunkan. Dengan demikian studi tentang Alqur’an tidak bisa dilepaskan dari konteks kesejarahannya, yang meliputi nilai-nilai sosial, budaya, politik, ekonomi, dan nilai-nilai religius yang hidup ketika itu.
Alqur’an sebuah kitab suci terakhir dimaksudkan untuk menjadi petunjuk, bukan saja bagi anggota masyarakat tempat kitab ini diturunkan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat manusia hingga akhir zaman. Kitab ini memuat tema-tema yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, seperti pola hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antara sesama manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Sebagai kitab suci yang menghadapi masyarakat dengan kebudayaan dan peradaban terus berkembang dan maju, di dalamnya terdapat ayat-ayat kealaman (sciences) dan kemasyarakatan. Ayat-ayat ini dapat dijadikan pedoman, motivasi dan etika dalam rekayasa masyarakat (social engineering) dan rekayasa teknik (technical engineering).[3]
Rekayasa masyarakat adalah penciptaan tatanan kemasyarakatan yang sesuai dengan kondisi obyektif setiap komunitas masyarakat  dengan tetap bersendi kepada prinsip-prinsip umum yang ditetapkan Alqur’an. Substansi ajaran Alqur’an tidak bermaksud menciptakan masyarakat seragam di seluruh belahan bumi dan di sepanjang masa, tetapi memberikan prinsip-prinsip umum yang memungkinkan terwujudnya pola keseimbangan hidup di dalam masyarakat tertentu, dan pada gilirannya suasana ketentraman di bawah ridha Allah SWT, atau menurut istilah Alqur’an, terciptanya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.
  
B.   Posisi Mata Kuliah Kajian Alqur’an
      Mata kuliah ini dikategorikan sebagai mata kuliah dasar yang disajikan pada semua konsentrasi  dengan bobot tiga SKS, sehingga semua mahasiswa dalam merbagai konsentrasi wajib mengikuti mata kuliah ini.

C. Tujuan Pembelajaran
Dengan mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan menganalisis  kajian Alqur’an, serta  perkembangannya dalam rangka menginterpretasikan Alqur’an, dan selanjutnya mereka dapat menggunakannya sebagai landasan pokok  dalam pengembangan ilmu-ilmu   yang akan menjadi keahliannya.

D.  Materi Pembelajaran
1.         Wahyu, Alqur’an dan Turunnya Alqur’an
2.         Ulumul Qur’an (ontologi, epistemologi dan aksiologi) dan sejarahnya
3.         Asbâb al-Nuzûl dan Urgensinya Dalam Penafsiran Alqur’an
4.         Munâsabah  al-Qur’an
5.         Gharâ’ib al-Qur’an
6.         Fawâtih al-Suwar wa Khawâtimuhu
7.         Qirâ’at al-Qur’ân
8.    ‘Ijâz al-Qur’ân
9.    Amtsâl al-Qur’ân
10. Aqsâm al-Qur’ân
11. Jadal al-Qur’an
12. Ushlûb al-Qur’ân
13. Qishash al-Qur’an
14. Balâghah al-Qur’ân
15. Israiliyyat  Dalam Tafsir
16. Fahm, Tafsîr,  Takwîl dan Tarjamah   Alqur’ân
17. Kaidah-Kaidah Penafsiran Alqur’an
18. Metode penafsiran Alqur’an
19. Corak Penafsiran Ilmiah dan Adab al-Ijtimâ’i
20. Corak Tafsir Tarbawi
21. Alqur’an Dalam Kajian  Orientalis


 E.  Komponen Penilaian
Dalam melakukan penilain akhir, maka komponen yang akan dinilai  dalam proses pembelajaran adalah:
1.     Makalah (paper)                                      20 %
2.    Presentasi dan Partisipasi                      20 %
3.    Ujian Tengah Semester                          20 %
4.    Kehadiran Dalam Kuliah                                    10 %
5.    Ujian Akhir Semester                              30 %



  F. Referen
   Beberapa literatur Arab,  Inggris dan Indonesia penting  yang dapat dijadikan sebagai referensi dalam perkuliahan Ulumul  Qur’an adalah sebagai berikut:
1.         al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân
2.         al-Syeikh Khâlid ‘Abd al-Rahmân  al-‘Ilq, Ushûl al-Tafsîr  wa Qawâ’iduhu
3.         ‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Mawdhû’i;
4.         al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân  fî ‘Ulûm al-Qur’ân;
5.         Ibnu Taymiyyah, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr;
6.         Jalâl al-Dîn al-Suyûthi,  al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân;
7.         Mannâ Khalil Qaththan, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’an;
8.         Shubhi Shalih,  Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’an;
9.         Muhammad Bek Diyat, Kitâb al-Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyyah;
10.      Muhammad Husayn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn;
11.      Musthafa Shâwi al-Juwayni, Manâhij al-Tafsîr;
12.      Hujjatullah al-Dahlawi, al-Fawz al-Kabîr fî Ushûl al-Tafsîr,
13.      Thameen Ushman, Methodologies of The Qur’aniq Exegesis;
14.      J.J. G. Jansen, The Interpretation of The Koran In Modern Egypt;
15.      Quraish Shihab, Membumikan Alqur’an;
16.      Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama.


           Darussalam, 4  November 2012
                                                           Asisten Dosen,



                                                            Dr. H. Hasan Bisri Damanhuri, M.Ag



















PROBLEMATIKA PEMAHAMAN ALQUR’AN


Problematika  Alqur’an yang selalu menjadi bahan diskusi adalah diantaranya sebagai berikut:

1.       Alqur’an sebagai Kalam Ilahi, baik redaksi maupun maknanya
2.       Sebutan Alqur’an dengan ‘kitab Suci’
3.       Pengumpulan dan Penulisan Alqur’an
4.       Huruf-huruf Tambahan Dalam Kalimat-Kalimat Alqur’an
5.       Mushhaf-Mushhaf Alqur’an
6.       Perbedaan Bacaan Dalam Pelafalan Ayat-Ayat Alqur’an
7.       Pemahaman Alqur’an: Zhanni-Qath’i, dan Kontradiksi Makna 

Diskusi poin-poin di atas
·         Alqur’an sebagai Firman Allah baik secara redaksi maupun maknanya. Dalam kitab Tauhid, seperti  Tîjan disebutkan, Firman Allah itu adalah tanpa huruf dan tanpa suara, padahal Alqurt’an ada kalimat, kata dan huruf-hurufnya secara jelas. Bagaimana mendikusikan masalah ini !

·          Alqur’an sering oleh umat Islam disebut sebagai ‘Kitab Suci’. Sebutan ini dari mana sumbernya? Apakah dari hadis ataukah dari Alqur’an itu sendiri?  Dalam Alqur’an kata ‘thahara’ sebagai petunjuk ‘suci’ tidak ditemukan makna yang menunjuk kepada Alqur’an sebagai ‘kitab suci’. Apakah makna ‘suci’ dalam pengertian tidak ada pengaruh manusia, atau sumbernya dari ‘Allah’ Yang Maha Tinggi dan Suci dari segala kekurangan;

·         Wahyu Alqur’an selalu dicatat langung oleh para sahabat apabila wahyu turun dari Allah kepada Nabi SAW. Para pencatat wahyu itu antara lain: Empat Sahabat Besشr, Mu’awiyah, Zayd ibn Tsâbit, Ubay ibn Ka’ab, Khâlid ibn Wâlid, dan Tsâbit ibn Qays.  Dalam pencatatan para sahabat tersebut, apakah huruf yang ditulis untuk melafalkan bunyi wahyu Alqur’an itu seragam, ataukah berbeda? Apabila seragam, mestinya bunyi hurufnya sama, sehingga dalam pelafalan tidak terjadi perbedaan. Kemudian pertanyaan berikutnya, apakah ketika menyampaikan wahyu turun itu, semua sahabat pencatat wahyu hadir? Ataukah hanya sebagian saja? Kalau semuanya hadir, kenapa bunyi lafalnya berbeda-beda.

·         Dalam ayat Alqur’an sering terjadi huruf tambahan yang disinyalir oleh para ulama, seperti: wa imsahû bi ru’ûsikum. Huruf ‘b’ dalam ayat tersebut adalah tambahan. Demikian pula ayat, wa qâlu Ittakhadza Allâh waladâ.   Huruf ‘waw’ dalam ayat itu adalah tambahan. Adanya huruf ziyâdah tersebut muncul pertanyaan, apakah yang memberi tambahan itu Allah sendiri yang disusulkan informasinya kepada Muhammad SAW, atau diberitambahan oleh para ulama? Kalau disusulkan, bagaimana logikanya? Kalau ditambah oleh para ulama, berarti Alqur’an sudah bukan asli lagi, tetapi ada keterlibatan manusia;

·         Mushhaf yang terkenal dan diakui oleh umat Islam sekarang adalah Mushhaf ‘Utsmani. Mushhaf ini dilatarbelakangi adanya perbedaan bacaan di Armenia dan Azebaizan yang dilaporkan oleh Hudzayfah al-Yaman. Melihat perbedaan bacaan ini yang dapat menimbulkan konflik antara umat Islam tentang Alqur’an, maka ‘Utsman memerintahkan agar Alqur’an dikodifikasi ulang yang diketui oleh Zayd ibn Tsâbit. Dalam amanatnya. ‘Utsman menyatakan, apabila terjadi perbedaan pendapat tentang bacaan Alqur’an dengan Zayd ibn Tsâbit, tulislah dengan dialek Quraisy (lisân al-Quraisy). Hasil kerja tim kodifikasi ini diresmikan oleh ‘Utsmân, dan diberinama Mushhaf Imam.  Mushhaf-Mushhaf lain yang beredar diperintahkan agar semuanya dibakar, agar tidak terjadi ketegangan antara umat Islam dalam bacaan Alqur’an. Bahkan Mushhaf yang pernah ditulis pada zaman Abû Bakr dan ‘Umar pun dibakar,  sesudah Hafshah (Istri Rasulallah SAW) sebagai pemegang akhir meninggal dunia, pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam tahun 65 H.  Kemudian disebarkan ke lima wilayah, agar dijadikan sebagai rujukan.   Dari  cerita ini menunjukkan bahwa Alqur’an turun dengan berbagai dialek, seperti Khawazan, Kinanah, Tamim dan lain sebagainya.  Dari sini muncul pertanyaan, bagaimana ayat Alqur’an turun kepada Nabi SAW, apakah setiap ayat yang turun menggunakan masing-masing dialek? Atau dialeknya ini ditambahkan sendiri oleh para sahabat.  Kemudian, kalau ayat Alqur’an ini dicatat oleh para sahabat dengan seragam, mengapa terjadi perbedaan dalam penyusunan surat dan ayat: seperti Mushhaf Ibn Mas’ûd:  al-Baqarah, al-Nisâ, Ali Imran, al-‘Araf,  dst; Ubay ibn Ka’ab: al-Fâtihah, al-Baqarah, al-Nisâ, Ali Imrân dst, demikian pula Mushhaf ‘Ali, Abû Mûsa  al-‘Asyari, dan lain-lainnya.  Ibnu Mas’ûd dalam mushhafnya juga tidak menyertakan surat al-Fâtihah sebagai surat pertama,  bahkan menurut Ibnu Nadim, Ibnu Mas’ud tidak menyertakan surat 113 dan 114 (al-Falaq dan al-Nâs). Sahabat lain yang tidak memasukan surat al-Fâtihah adalah ‘Ali ibn Abî Thâlib, bahkan Ali tidak memasukan surat 13, 34, dan 66 (Hûd, Saba’, al-Tahrîm).   Disamping perbedaan penyusunan Mushhaf, juga mereka berbeda  dalam pencatatan  ayat dan  surat berdasarkan kronologi turunnya ayat, baik makiyyah maupun madaniyyah Dari penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa beberapa sahabat Nabi memiliki mushhafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu dengan lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surat, maupun jumlah ayat dan surat.. Perbedaan antara Mushhaf ‘Utsman dengan Mushhaf lainnya, dapat dilihat dari komplain ‘Aisyah, Istri Nabi SAW yang dikutip oleh Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, yang meriwayatkan: ‘kata ‘Aisyah pada masa Nabi, surat al-Ahzâb berjumlah 200 ayat. Setelah ‘Utsman melakukan kodifikasi Alqur’an, jumlahnya seperti sekarang, berkurang, menjadi 73 ayat’. Pandangan ‘Aisyah ini didukung oleh Ubay ibn Ka’ab, yang didalam mushhafnya ada dua surah yang tidak dijumpai dalam Mushhaf ‘Utsman, yakni surat al-Khal dan al-Khafzh.

·         Bacaan Alqur’an yang biasa dipakai oleh sebagian umat Islam adalah Bacaan Hafash dari ‘Âshim.  Dalam sejarah penulisan Alqur’an dikenal naman-nama berikut ini: Ibnu ‘Âmir, al-Kisâ’i, Ibnu Hisyâm, al-Ashfahâni, dan Ibnu Abi Daud. Mereka menghidupkan mushhaf-mushhaf kalisk dalam karyanya, Kitâb al-Mashâhif, atau Ikhtilâf al-Mashâhif. Munculnya kembali mushhaf-mushhaf itu, didorong oleh kenyataan bahwa Mushhaf ‘Utsmani yang disebarkan ke berbagai kota  tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata Alqur’an, dia harus merujuk kepada guru yang memiliki otoritas melafalkannya. Dan tidak sedikit para guru yang melafalkannya itu adalah para pewari bacaan non-‘Utsmani. Dari sinilah muncul perbedaan beragam bacaan akibat absennya titik dan harkat., seperti bentuk fi’il mudhari: ya-la-mu, maka dapat dibaca, yu’allimu, yu’limu, atau ya’lamu.
Bahkan yang lebih musykil lagi adalah perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, seperti Ibnu Mas’ûd menyebut arsyidna, dari pada kata  Ihdina dalam Mushhaf ‘Utsmani, begitu juga kata ‘man’ diganti dengan ‘alladzi’, atau fas’au diganti famdû.  Dan lain-lainnya.
Berhubung varian-varian bacaan semakin liar, maka Khalifah ‘Abbasiyyah pada tahun 322 H memerintahkan Ibnu Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah membandingkan semua mushhaf yang ada di tangannya, Ibnu Mujahid memilih tujuah varian bacaan dari para ahli qirâ’at ternama (qurrâ’), yaiktu Nafi (Madinah, Ibnu Katsîr (Mekkah), Ibnu ‘Amir (Syam), Abû Amr (Bashrah), ‘Ashim, Hamzah dan Kisâ’i (ketiganya dari Kufah).  Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi bahwa Alqur’an diturunkan dengan tujuh huruf.  Tapi sebagian ulama menolak pilihan Ibnu Mujâhid dan menganggapnya telah semena-mena yang mengesampingkan varian bacaan lain yang dianggap lebih shahih. Nuansa politik dan persaingan ulama pada saat itu memang sangat kentara. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibnu Miqsam dan Shanabudh yang pandangan-pandangannya dikesampingkan oleh Ibnu Mujahid, karena adanya rivalitas diantara mereka. Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak berpengaruh. Sejarah membuktikan, pandangan Ibnu Mujâhid yang didukung penguasa itulah yang kini diterima oleh umat Islam dengan sedikit modifikasi menjadi 10 atau 14 varian bacaan.

·         Dilihat dari pemahamannya, Ayat-ayat Alqur’an terbagi dua bagian: zhanni dan qath’i. Dari sini muncul masalah, apakah penentuan ini berasal dari Nabi SAW dan Sahabat ?.  kemudian apa dasar penentuan zhanni dan qath’i.  Bagaimana contohnya!  Kemudian, ada lagi ayat yang secara lahiriah seringkali kontradiktif, seperti dikatakan: Innallah lâ yughayyiru mâ bi qawmin hatta yughayyiru mâ bi anfusihim, dengan ayat Allah Khâliq kulli syain.       




Darussalam, 4 November  2012



[1] Baca lebih jauh, Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001 M), h. 9-24
[2] Fazlur Rahman, Islam, (New York, Anchor Books, 1979 M), h. 2.c
[3] Lihat lebih lanjut, Azyumardi Azra (Ed.), Sejarah ‘Ulûm al-Qur’ân, (Jakarta: Pusataka Firdaus, 1999 M), h. 2. 

1 komentar:

  1. Ma kasih.. atas infonya
    Tugas makalah saya tentang Sej. Perkembangan ulumul Qur'an bisa di lihat di http://abdulhamid72blog.wordpress.com/

    BalasHapus