RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER ‘ULÛMUL QUR’AN
DI PASCASARJANA IAID DARUSSALAM
A.
Deskripsi Mata Kuliah
Alqur’an
turun ke dunia tidak dalam suatu ruang dan waktu yang hampa nilai, melainkan di
dalam masyarakat yang sarat dengan berbagai nilai budaya dan religius. Di
kawasan Timur Tengah ketika itu, sudah
ada tiga kekuatan yang cukup berpengaruh, yaitu Rumawi Kristen yang berpengaruh
di sepanjang Laut Merah, Persia Zoroaster yang berpusat di Mesopotamia dengan
pengaruh luas di sebelah Timur Jazirah Arab sampai di Pesisir Pantai Yaman dan
kerajaan-kerajaan kecil di Arabia Selatan dengan peradaban yang khas seperti
kerajaan Himyar pada abad keenam.[1]
Sistem-sistem
sosial kemasyrakatan dan lembaga-lembaga pemerintahan sudah dikenal di kawasan
tersebut. Beberapa daerah Arab yang menjadi kawasan penyangga ketika itu berada
di bawah pengaruh dua imperium besar, Byzantium
dan Persia .
Di sebelah utara agak ke barat, ada
Gassan yang berada di bawah pengaruh Byzantium ;
sementara di sebelah utara agak ke timur ada Hirah yang juga dikenal dengan
Lakhmid, berada di bawah pengaruh Persia . Daerah-daerah penyangga ini
membuat Hijaz dan Thaif di bagian selatan, yang juga dikenal sebagai basis
perjuangan Nabi SAW tidak mendapat pengaruh politik secara langsung dari kedua
imperium tersebut.
Kehadiran Islam di kawasan ini bisa dilihat sebagai
kelanjutan tradisi agama-agama monoteistik (Yahudi-kristen). Agama-agama ini
menurut Fazlur Rahman, telah berjasa dalam melakukan proses peragian (fermentation
process).[2] Islam
tidak dirasakan sebagai sesuatu yang terlalu asing di negeri Arab, karena
monoteisme yang merupakan inti ajarannya telah dikenal luas di wilayah-wilayah
jajahan imperium Rumawi Timur (Byzantium ).
Alqur’an turun dalam kurun waktu 23 tahun yang dapat dibagi kepada dua fase,
yaitu ayat-ayat yang turun di Makkah sebelum hijrah (Makiyyah) dan
ayat-ayat yang turun sesudah Nabi SAW hijrah ke Madinah (Madaniyyah).
Semua ini membuktikan adanya hubungan dialektis dengan ruang dan waktu, ketika
ia diturunkan. Dengan demikian studi tentang Alqur’an tidak bisa dilepaskan
dari konteks kesejarahannya, yang meliputi nilai-nilai sosial, budaya, politik,
ekonomi, dan nilai-nilai religius yang hidup ketika itu.
Alqur’an
sebuah kitab suci terakhir dimaksudkan untuk menjadi petunjuk, bukan saja bagi
anggota masyarakat tempat kitab ini diturunkan, tetapi juga bagi seluruh
masyarakat manusia hingga akhir zaman. Kitab ini memuat tema-tema yang mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia, seperti pola hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan antara sesama manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam
sekitarnya. Sebagai kitab suci yang menghadapi masyarakat dengan kebudayaan dan
peradaban terus berkembang dan maju, di dalamnya terdapat ayat-ayat kealaman (sciences)
dan kemasyarakatan. Ayat-ayat ini dapat dijadikan pedoman, motivasi dan etika
dalam rekayasa masyarakat (social engineering) dan rekayasa teknik (technical
engineering).[3]
Rekayasa
masyarakat adalah penciptaan tatanan kemasyarakatan yang sesuai dengan kondisi
obyektif setiap komunitas masyarakat
dengan tetap bersendi kepada prinsip-prinsip umum yang ditetapkan
Alqur’an. Substansi ajaran Alqur’an tidak bermaksud menciptakan masyarakat seragam
di seluruh belahan bumi dan di sepanjang masa, tetapi memberikan
prinsip-prinsip umum yang memungkinkan terwujudnya pola keseimbangan hidup di
dalam masyarakat tertentu, dan pada gilirannya suasana ketentraman di bawah
ridha Allah SWT, atau menurut istilah Alqur’an, terciptanya baldatun thayyibatun
wa rabbun ghafûr.
B.
Posisi Mata Kuliah Kajian Alqur’an
Mata kuliah
ini dikategorikan sebagai mata kuliah dasar yang disajikan pada semua
konsentrasi dengan bobot tiga SKS,
sehingga semua mahasiswa dalam merbagai konsentrasi wajib mengikuti mata kuliah
ini.
C. Tujuan Pembelajaran
Dengan mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan dapat
mengetahui dan menganalisis kajian
Alqur’an, serta perkembangannya dalam rangka
menginterpretasikan Alqur’an, dan selanjutnya mereka dapat menggunakannya sebagai
landasan pokok dalam pengembangan ilmu-ilmu
yang akan menjadi keahliannya.
D. Materi Pembelajaran
1.
Wahyu,
Alqur’an dan Turunnya Alqur’an
2.
Ulumul
Qur’an (ontologi, epistemologi dan aksiologi) dan sejarahnya
3.
Asbâb
al-Nuzûl dan Urgensinya Dalam Penafsiran Alqur’an
4.
Munâsabah al-Qur’an
5.
Gharâ’ib
al-Qur’an
6.
Fawâtih
al-Suwar wa Khawâtimuhu
7.
Qirâ’at
al-Qur’ân
8.
‘Ijâz
al-Qur’ân
9.
Amtsâl
al-Qur’ân
10.
Aqsâm
al-Qur’ân
11.
Jadal
al-Qur’an
12.
Ushlûb
al-Qur’ân
13.
Qishash
al-Qur’an
14.
Balâghah
al-Qur’ân
15.
Israiliyyat
Dalam Tafsir
16.
Fahm,
Tafsîr, Takwîl dan Tarjamah Alqur’ân
17.
Kaidah-Kaidah
Penafsiran Alqur’an
18.
Metode
penafsiran Alqur’an
19.
Corak
Penafsiran Ilmiah dan Adab al-Ijtimâ’i
20.
Corak
Tafsir Tarbawi
21.
Alqur’an
Dalam Kajian Orientalis
E. Komponen Penilaian
Dalam
melakukan penilain akhir, maka komponen yang akan dinilai dalam proses pembelajaran adalah:
1.
Makalah (paper) 20 %
2.
Presentasi
dan Partisipasi 20 %
3.
Ujian
Tengah Semester 20 %
4.
Kehadiran
Dalam Kuliah 10
%
5.
Ujian
Akhir Semester 30 %
F. Referen
Beberapa
literatur Arab, Inggris dan Indonesia
penting yang dapat dijadikan sebagai referensi
dalam perkuliahan Ulumul Qur’an adalah
sebagai berikut:
1.
al-Zarkasyi,
al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân
2.
al-Syeikh
Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Ilq, Ushûl
al-Tafsîr wa Qawâ’iduhu
3.
‘Abd
al-Hayy al-Farmawi, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Mawdhû’i;
4.
al-Zarqâni,
Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân;
5.
Ibnu
Taymiyyah, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr;
6.
Jalâl
al-Dîn al-Suyûthi, al-Itqân fî ‘Ulûm
al-Qur’ân;
7.
Mannâ
Khalil Qaththan, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’an;
8.
Shubhi
Shalih, Mabâhits fî
‘Ulûm al-Qur’an;
9.
Muhammad
Bek Diyat, Kitâb al-Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyyah;
10.
Muhammad
Husayn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn;
11.
Musthafa
Shâwi al-Juwayni, Manâhij al-Tafsîr;
12.
Hujjatullah
al-Dahlawi, al-Fawz al-Kabîr fî Ushûl al-Tafsîr,
13.
Thameen
Ushman, Methodologies of The Qur’aniq Exegesis;
14.
J.J.
G. Jansen, The Interpretation of The Koran In Modern Egypt ;
15.
Quraish
Shihab, Membumikan Alqur’an;
16.
Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama.
Darussalam, 4 November 2012
Asisten Dosen,
Dr.
H. Hasan Bisri Damanhuri, M.Ag
PROBLEMATIKA PEMAHAMAN ALQUR’AN
Problematika Alqur’an yang selalu menjadi bahan diskusi
adalah diantaranya sebagai berikut:
1.
Alqur’an sebagai Kalam Ilahi,
baik redaksi maupun maknanya
2.
Sebutan Alqur’an dengan ‘kitab
Suci’
3.
Pengumpulan dan Penulisan
Alqur’an
4.
Huruf-huruf Tambahan Dalam
Kalimat-Kalimat Alqur’an
5.
Mushhaf-Mushhaf Alqur’an
6.
Perbedaan Bacaan Dalam
Pelafalan Ayat-Ayat Alqur’an
7.
Pemahaman Alqur’an:
Zhanni-Qath’i, dan Kontradiksi Makna
Diskusi poin-poin di atas
·
Alqur’an sebagai Firman Allah
baik secara redaksi maupun maknanya. Dalam kitab Tauhid, seperti Tîjan disebutkan, Firman Allah itu
adalah tanpa huruf dan tanpa suara, padahal Alqurt’an ada kalimat, kata dan
huruf-hurufnya secara jelas. Bagaimana mendikusikan masalah ini !
·
Alqur’an sering oleh umat Islam disebut
sebagai ‘Kitab Suci’. Sebutan ini dari mana sumbernya? Apakah dari hadis
ataukah dari Alqur’an itu sendiri? Dalam
Alqur’an kata ‘thahara’ sebagai petunjuk ‘suci’ tidak ditemukan makna yang
menunjuk kepada Alqur’an sebagai ‘kitab suci’. Apakah makna ‘suci’ dalam
pengertian tidak ada pengaruh manusia, atau sumbernya dari ‘Allah’ Yang Maha
Tinggi dan Suci dari segala kekurangan;
·
Wahyu Alqur’an selalu dicatat
langung oleh para sahabat apabila wahyu turun dari Allah kepada Nabi SAW. Para
pencatat wahyu itu antara lain: Empat Sahabat Besشr, Mu’awiyah, Zayd ibn Tsâbit, Ubay ibn Ka’ab,
Khâlid ibn Wâlid, dan Tsâbit ibn Qays.
Dalam pencatatan para sahabat tersebut, apakah huruf yang ditulis untuk
melafalkan bunyi wahyu Alqur’an itu seragam, ataukah berbeda? Apabila seragam,
mestinya bunyi hurufnya sama, sehingga dalam pelafalan tidak terjadi perbedaan.
Kemudian pertanyaan berikutnya, apakah ketika menyampaikan wahyu turun itu,
semua sahabat pencatat wahyu hadir? Ataukah hanya sebagian saja? Kalau semuanya
hadir, kenapa bunyi lafalnya berbeda-beda.
·
Dalam ayat Alqur’an sering
terjadi huruf tambahan yang disinyalir oleh para ulama, seperti: wa imsahû
bi ru’ûsikum. Huruf ‘b’ dalam ayat tersebut adalah tambahan. Demikian pula
ayat, wa qâlu Ittakhadza Allâh waladâ.
Huruf ‘waw’ dalam ayat itu adalah tambahan. Adanya huruf ziyâdah
tersebut muncul pertanyaan, apakah yang memberi tambahan itu Allah sendiri yang
disusulkan informasinya kepada Muhammad SAW, atau diberitambahan oleh para
ulama? Kalau disusulkan, bagaimana logikanya? Kalau ditambah oleh para ulama,
berarti Alqur’an sudah bukan asli lagi, tetapi ada keterlibatan manusia;
·
Mushhaf yang terkenal dan
diakui oleh umat Islam sekarang adalah Mushhaf ‘Utsmani. Mushhaf ini
dilatarbelakangi adanya perbedaan bacaan di Armenia dan Azebaizan yang dilaporkan
oleh Hudzayfah al-Yaman. Melihat perbedaan bacaan ini yang dapat menimbulkan
konflik antara umat Islam tentang Alqur’an, maka ‘Utsman memerintahkan agar
Alqur’an dikodifikasi ulang yang diketui oleh Zayd ibn Tsâbit. Dalam amanatnya.
‘Utsman menyatakan, apabila terjadi perbedaan pendapat tentang bacaan Alqur’an
dengan Zayd ibn Tsâbit, tulislah dengan dialek Quraisy (lisân al-Quraisy).
Hasil kerja tim kodifikasi ini diresmikan oleh ‘Utsmân, dan diberinama Mushhaf
Imam. Mushhaf-Mushhaf lain yang
beredar diperintahkan agar semuanya dibakar, agar tidak terjadi ketegangan
antara umat Islam dalam bacaan Alqur’an. Bahkan Mushhaf yang pernah ditulis
pada zaman Abû Bakr dan ‘Umar pun dibakar,
sesudah Hafshah (Istri Rasulallah SAW) sebagai pemegang akhir meninggal
dunia, pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam tahun 65 H. Kemudian disebarkan ke lima wilayah, agar dijadikan sebagai
rujukan. Dari cerita ini menunjukkan bahwa Alqur’an turun
dengan berbagai dialek, seperti Khawazan, Kinanah, Tamim dan lain sebagainya. Dari sini muncul pertanyaan, bagaimana ayat
Alqur’an turun kepada Nabi SAW, apakah setiap ayat yang turun menggunakan
masing-masing dialek? Atau dialeknya ini ditambahkan sendiri oleh para sahabat. Kemudian, kalau ayat Alqur’an ini dicatat
oleh para sahabat dengan seragam, mengapa terjadi perbedaan dalam penyusunan surat dan ayat: seperti
Mushhaf Ibn Mas’ûd: al-Baqarah, al-Nisâ,
Ali Imran, al-‘Araf, dst; Ubay ibn
Ka’ab: al-Fâtihah, al-Baqarah, al-Nisâ, Ali Imrân dst, demikian pula Mushhaf
‘Ali, Abû Mûsa al-‘Asyari, dan
lain-lainnya. Ibnu Mas’ûd dalam
mushhafnya juga tidak menyertakan surat
al-Fâtihah sebagai surat pertama, bahkan menurut Ibnu Nadim, Ibnu Mas’ud tidak
menyertakan surat
113 dan 114 (al-Falaq dan al-Nâs). Sahabat lain yang tidak memasukan surat al-Fâtihah adalah ‘Ali ibn Abî Thâlib, bahkan
Ali tidak memasukan surat 13, 34, dan 66 (Hûd, Saba ’, al-Tahrîm).
Disamping perbedaan penyusunan Mushhaf, juga mereka berbeda dalam pencatatan ayat dan
surat berdasarkan kronologi turunnya ayat, baik makiyyah maupun
madaniyyah Dari penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa beberapa sahabat Nabi
memiliki mushhafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu dengan lain, baik dalam
hal bacaan, susunan ayat dan surat, maupun jumlah ayat dan surat.. Perbedaan
antara Mushhaf ‘Utsman dengan Mushhaf lainnya, dapat dilihat dari komplain
‘Aisyah, Istri Nabi SAW yang dikutip oleh Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, yang
meriwayatkan: ‘kata ‘Aisyah pada masa Nabi, surat al-Ahzâb berjumlah 200 ayat. Setelah
‘Utsman melakukan kodifikasi Alqur’an, jumlahnya seperti sekarang, berkurang,
menjadi 73 ayat’. Pandangan ‘Aisyah ini didukung oleh Ubay ibn Ka’ab, yang
didalam mushhafnya ada dua surah yang tidak dijumpai dalam Mushhaf ‘Utsman,
yakni surat
al-Khal dan al-Khafzh.
·
Bacaan Alqur’an yang biasa
dipakai oleh sebagian umat Islam adalah Bacaan Hafash dari ‘Âshim. Dalam sejarah penulisan Alqur’an dikenal
naman-nama berikut ini: Ibnu ‘Âmir, al-Kisâ’i, Ibnu Hisyâm, al-Ashfahâni, dan
Ibnu Abi Daud. Mereka menghidupkan mushhaf-mushhaf kalisk dalam karyanya, Kitâb
al-Mashâhif, atau Ikhtilâf al-Mashâhif. Munculnya kembali
mushhaf-mushhaf itu, didorong oleh kenyataan bahwa Mushhaf ‘Utsmani yang
disebarkan ke berbagai kota
tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda
baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata
Alqur’an, dia harus merujuk kepada guru yang memiliki otoritas melafalkannya.
Dan tidak sedikit para guru yang melafalkannya itu adalah para pewari bacaan
non-‘Utsmani. Dari sinilah muncul perbedaan beragam bacaan akibat absennya
titik dan harkat., seperti bentuk fi’il mudhari: ya-la-mu, maka dapat
dibaca, yu’allimu, yu’limu, atau ya’lamu.
Bahkan yang lebih musykil lagi adalah perbedaan kosakata
akibat pemahaman makna, seperti Ibnu Mas’ûd menyebut arsyidna, dari pada
kata Ihdina dalam Mushhaf
‘Utsmani, begitu juga kata ‘man’ diganti dengan ‘alladzi’, atau fas’au diganti
famdû. Dan lain-lainnya.
Berhubung varian-varian bacaan semakin liar, maka
Khalifah ‘Abbasiyyah pada tahun 322 H memerintahkan Ibnu Mujahid (w. 324 H)
melakukan penertiban. Setelah membandingkan semua mushhaf yang ada di
tangannya, Ibnu Mujahid memilih tujuah varian bacaan dari para ahli qirâ’at
ternama (qurrâ’), yaiktu Nafi (Madinah, Ibnu Katsîr (Mekkah), Ibnu ‘Amir
(Syam), Abû Amr (Bashrah), ‘Ashim, Hamzah dan Kisâ’i (ketiganya dari
Kufah). Tindakannya ini berdasarkan
hadis Nabi bahwa Alqur’an diturunkan dengan tujuh huruf. Tapi sebagian ulama menolak pilihan Ibnu
Mujâhid dan menganggapnya telah semena-mena yang mengesampingkan varian bacaan lain
yang dianggap lebih shahih. Nuansa politik dan persaingan ulama pada saat itu
memang sangat kentara. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibnu Miqsam dan
Shanabudh yang pandangan-pandangannya dikesampingkan oleh Ibnu Mujahid, karena
adanya rivalitas diantara mereka. Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak
berpengaruh. Sejarah membuktikan, pandangan Ibnu Mujâhid yang didukung penguasa
itulah yang kini diterima oleh umat Islam dengan sedikit modifikasi menjadi 10
atau 14 varian bacaan.
·
Dilihat dari pemahamannya,
Ayat-ayat Alqur’an terbagi dua bagian: zhanni dan qath’i. Dari sini muncul
masalah, apakah penentuan ini berasal dari Nabi SAW dan Sahabat ?. kemudian apa dasar penentuan zhanni dan
qath’i. Bagaimana contohnya! Kemudian, ada lagi ayat yang secara lahiriah
seringkali kontradiktif, seperti dikatakan: Innallah lâ yughayyiru mâ bi
qawmin hatta yughayyiru mâ bi anfusihim, dengan ayat Allah Khâliq kulli
syain.
Darussalam, 4 November
2012
[1] Baca lebih jauh, Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah
Al-Qur’an, (Yogyakarta : Forum Kajian
Budaya dan Agama, 2001 M), h. 9-24
[2] Fazlur Rahman, Islam, (New York, Anchor Books, 1979 M), h.
2.c
[3] Lihat lebih lanjut, Azyumardi Azra (Ed.), Sejarah ‘Ulûm
al-Qur’ân, (Jakarta: Pusataka Firdaus, 1999 M), h. 2.
Ma kasih.. atas infonya
BalasHapusTugas makalah saya tentang Sej. Perkembangan ulumul Qur'an bisa di lihat di http://abdulhamid72blog.wordpress.com/